Bab ini adalah lanjutan dari bab 'Drama Sebelum Minum Obat'. Jangan pernah malu untuk memberitahu bahwa cerita ini membosankan, karena aku juga berfikir begitu. Tapi tidak masalah. Oke, lanjut keceritanya.
Aku kembali terbangun di dalam ruangan serba putih ini, alias rumah sakit.
Infus ditangan ku kembali terpasang. Kali ini ada dokter yang ditemani oleh Halilintar dan Gempa. Kaki ku susah digerakkan karena sudah diborgol. Aku mengaduh pusing saat mata ku lagi-lagi menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan.
"Taufan, kamu sudah bangun?" Tanya sang dokter padaku. Dokter tersebut mengelus kepalaku yang sedang berdenyut nyeri.
Aku mengangguk kecil tidak mampu menjawab.
"Sekarang minum obat dulu, ya?"
"Tidak mau, dok." Rengek ku. Kaki ku ditepuk pelan oleh Halilintar. Matanya nampak seperti mengancam ku untuk menurut. Aku masih saja menggeleng tidak mau.
"Nanti Taufan tambah sa_"
"Tidak mau. Taufan tidak mau!" Sahut ku memotong perkataan dokter. Aku memberontak untuk melepaskan kaki ku yang terborgol.
Mungkin jika itu tali biasa, masih bisa diterima. Tapi ini borgol yang biasa dipakai polisi untuk menangkap orang! Tentu saja tidak ada yang terima.
"Gempa, borgol tangannya." Perintah Hali saat melihat ada pergerakan dari tanganku untuk membuka borgol dikaki. Gempa memakaikan paksa borgol yang ia bawa ditangan ku.
Aku masih memberontak beberapa kali. Tidak tanggung-tanggung para suster juga menahan pergerakan ku. Entah kenapa ketika aku sedang akan meminum obat, kekuatan tubuh ku bertambah. Beberapa kali pegangan mereka terlepas, namun mereka tetap menahan ku.
Click!
Borgol yang Gempa pasang ditangan ku sudah terkunci. Aku beberapa kali berusaha berteriak tetapi Halilintar membekap mulutku untuk diam. Pergerakan ku juga berkurang karena tangan dan kaki ku sudah terkunci. Mereka menahan tubuh ku yang masih saja bergulingan memberontak untuk lepas.
Halilintar sudah menyiapkan obatnya. Tangannya mencengkram rahang ku memaksa bibir ku untuk terbuka. Halilintar menekannya sedikit lebih kuat hingga aku akhirnya membuka mulutku.
Saat itu juga Halilintar memasukkan obatnya ke dalam mulut ku dan langsung memberi ku minum. Aku beberapa kali ingin menumpahkan obat ku tetapi tangan Halilintar menahannya.
"Telan! Minum airnya." Perintah Halilintar yang membantu ku untuk minum. Tangan ku masih diborgol, karena itu Halilintar membantuku minum. Siapa tahu saja airnya tiba-tiba tumpah.
Huek!!
Ini sudah kebeberapa kalinya aku ingin muntah tapi Halilintar menahan ku hingga obatnya tertelan seluruhnya.
Minum obat sudah selesai. Mata ku mendadak sayu, tubuhku lemas. Tenaga ku habis karena sedari tadi berusaha memberontak.
"Minum obat aja banyak drama!" Seru Halilintar saat melepaskan borgol dikaki ku. Gempa melepaskan borgol yang ia pasang ditangan ku.
"Kak Taufan udah besar loh, masa cuma buat minum obat aja pake acara kabur segala," omel Gempa yang kesal karena sedari tadi menahan tubuh ku yang berontak tidak berhenti.
"Udah deh, Gem. Aku itu benci obat. Ngerti tidak sih?" Balas ku.
"Emangnya kenapa bisa benci obat? Obat tidak salah apa-apa tuh." Sinisnya.
"Ya ampun, Gem! Tuh kan kamu tidak mengerti. Obat itu tuh pahit, Gem. Pahit! Dan juga obatnya pernah ngomong ke aku lewat mimpi. Kalau sebenarnya dia –si obat– itu membantu dengan imbalan. Karena itu kenapa obat itu selalu ada efek sampingnya," oceh ku membalas sinisan Gempa.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAUFAN?! [Tamat] ✓
Fiksi PenggemarTaufan, bagaimana hidup dengan saudara tiri dan tiga ayah yang berbeda? Bukan poliandri ❌ 15+ Cover by Twitter : @Chanom_Kun