42

1.8K 119 20
                                    

    Keesokan harinya, Alian menjalani acara pernikahan nya dengan sangat lancar. Banyak yang di undang di sana. Mulai dari rekan kerja Hino, hingga para karyawan di kantor tersebut. Bahkan teman teman Alian dan Anza pun ikut datang meskipun rasanya ingin mencakar cakar wajah Alian.

Tapi melihat wajah Alian yang terlihat tidak bahagia, mereka mengurungkan niatnya itu dan mengikuti acara dengan tenang.

"Daddy bangga sama kamu." Ucap Hino sambil menepuk pundak Alian.

"Selamat ya Tiffany sayang." Ucap mama Tiffany yang sebenarnya ingin menentang pernikahan itu karena ia ingin anaknya bahagia dengan pilihannya bukan seperti ini. Tapi saat mendengar perceraian antara Hino dan Divan dan mendengar alasannya membuatnya mengurungkan niatnya. Ia masih sangat mencintai suaminya itu.

Alian menatap Helmi yang bersama dengan Fazan dan Saesay, ia menghampiri adiknya itu lalu menepuk pundaknya pelan.

Helmi yang merasa pundaknya di tepuk pun langsung menoleh melihat Alian dengan muka datar nya.

"Papa masih belum kesini?" Tanya Alian membuat Helmi menggeleng. Ia tidak melihat papanya hari ini, terakhir ia melihatnya pagi hari ketika papanya hendak pergi bekerja.

"Papa janjinya pulang jam segini, terus bilang secepatnya nyusul ke sini, mungkin papa lagi di perjalanan." Ucap Helmi membuat Alian menganggukkan kepalanya setuju.

Tak lama kemudian seseorang datang ke pernikahan tersebut dengan menggendong seorang bayi. Ia menghela nafas mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya melangkahkan kakinya untuk masuk.

Ia menatap ruangan yang di isi dengan banyak orang itu. Ia mencari dimana Anak sulungnya itu berada. Tapi matanya malah bertemu dengan mantan suaminya yang menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

Divan tidak peduli dengan itu, ia sibuk mencari Alian tapi saat hendak berjalan mendekati Alian tiba tiba tubuh besar seseorang menghalangi langkahnua membuatnya mundur beberapa langkah.

"Siapa dia?" Divan memutar bola matanya malas. Yang ada di hadapannya adalah Hino entah apa niatnya tiba tiba menghalangi jalannya.

"Minggir, bukan urusanmu." Divan berjalan pergi ke arah Alian yang seperti nya belum menyadari kehadiran nya.

"Eh bang itu papa, tapi kok bawa bayi?" Alian langsung menoleh ke arah papanya yang berjalan ke arahnya sambil membawa seorang bayi.

Alian menyiritkan dahinya, ia penasaran siapa bayi yang ada di gendongan papanya itu.

"Al, Helmi, papa nyariin kemana mana ternyata kalian di sini." Ucap Divan dengan senyum manisnya.

"Kita di sini dari tadi pah, btw papa bru dateng?" Tanya Helmi lalu di anggukkan oleh Divan.

"Hmm, papa harus ngurus bayi ini dulu." Ucap Divan menatap bayi di gendongan nya.

"Itu bayi siapa pah?" Tanya Helmi menatap bayi yang ada di gendongan papanya.

Divan tersenyum, ia menatap orang orang di sekitarnya yang menatapnya dengan tatapan bingung. Di sana jelas ada Alian, Helmi, Hino yang penasaran dengan bayi tersebut hingga mengikuti Divan juga ada Fazan, Saesay, Geran, Reva, dan Avan yang sedari tadi berbicara dengan dua orang itu.

"Tebak bayi siapa?" Ucap Divan ambil tersenyum.

"Papa ngadopsi bayi?" Tanya Helmi membuat Fazan yang berada di sebelahnua langsung memukul pelan lengan temannya itu.

Sedangkan Divan terkekeh lalu menggeleng pelan, ia menatap Alian yang masih diam.

"Alian, ini anak kamu." Alian kaget mendengar itu ia mematung sebentar lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil bayi tersebut dari gendongan Divan.

"Boleh Al gendong?" Tanya Alian lalu Divan mengangguk dan memberikan bayi tersebut pada Alian.

Alian menatap bayi tersebut dengan senyum bahagia tapi di lain sisi ia juga menyesal dan kecewa pada dirinya sendiri karena tidak ada di samping Anza saat itu.

"Dia lahir dua hari yang lalu." Alian menatap Divan sekilas lalu kembali menatap anaknya itu, mengelus pipi nya yang masih lembut.

Tapi saat sibuk menatap anaknya itu, Alian teringat sesuatu. Ia menatap Divan yang sedang tersenyum menatap bayi di gendongannya.

"Pa, apa Anza baik baik aja?" Tanya Alian membuat senyum di wajah Divan luntur seketika. Ia bingung harus menceritakannya atau tidak.

"Anza baik baik aja, bahkan sangat baik, mungkin kemarin Anza masih ngerasain sakit tapi sekarang udah enggak." Divan memegang bahu Alian sebelum mengucapkan kalimat selanjutnya. Satu air mata lolos mengalir ke pipinya.

"Karena Anza udah tenang di alam sana."

Deg!

Semua yang berkumpul di sana langsung mematung termasuk Alian yang merasa semuanya adalah lelucon baginya.

"Pa, papa bercanda kan?" Divan menggelengkan kepalanya, ia merasa hatinya hancur melihat anaknya yang terlihat tidak percaya itu.

"Papa ga bercanda sayang, rekan kerja papa bilang Anza sempet terbangun dan kondisinya baik baik aja tapi entah kenapa tadi pagi, salah satu suster menemukan Anza sudah tidak bernyawa?" Perasaan Alian semakin campur aduk, bahkan hanya kali ini ia meneteskan air mata untuk suatu masalah dari masalah masalah yang ia alami.

Kematian orang yang ia cintai, orang yang sudah bersamanya belasan tahun meskipun dengan status yang tidak jelas, sampai akhirnya mereka bisa bersama dan mendapatkan seorang anak tapi ternyata Tuhan harus mengambil Anza darinya.

Sementara Geran, Reva dan Avan saling memandang satu sama lain, mereka sama sama bingung dan curiga dengan kematian Anza yang di ceritakan oleh Divan tadi.

"Besok setelah acara perpisahan sekolah, ngumpul di rumah, ajak Caca, Arta, dan Dirga juga." Geran mengangguk paham.

"Gue ga tau respon Eil gimana pas denger berita ini." Geran menundukkan kepalanya. Sekarang Eil memang tidak ikut karena mendadak demam tapi itu juga suatu keuntungan karena mereka bisa bilang baik baik ke Eil agar Eil tidak terlalu shock.

"Bilang baik baik, Eil juga nanti bakal ngerti." Reva menepuk pundak Geran untuk menenangkan.

"Jadi gimana Al, kamu mau merawat bayi ini dengan Tiffany?" Tanya Divan menatap Alian dan Tiffany yang baru saja datang tapi ia sudah di ceritakan oleh Hino tentang apa yang terjadi.

"Akan Al rawat sendiri, papa ga usah khawatir." Ucap Alian.

"Gue bantu, setidaknya selama kita masih dalam status ini." Alian mentap Tiffany lalu mengangguk.

"Makasih." Tiffany mengangguk lalu sedikit berjalan ke arah Alian mencoba mengelus pipi bayi tersebut.

"Mirip Anza, siapa namanya?" Tanya Tiffany.

"Davien Althahesa Alvino." Ucap Alian. Sebenarnya ia ingin bertanya hal tersebut pada Anza apakah Anza setuju atau tidak tapi seperti nya tidak mungkin.

"Nama yang bagus, baby Davien benar kan?" Tanya Tiffany lalu di anggukkan oleh Alian.

---

AlianzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang