20. Arran

0 0 0
                                    

Tatapanku jatuh pada pergelangan tangan kanan Silas yang bersih. Tidak ada tanda-tanda tinta atau bekas luka yang mengilangkan apa yang seharusnya ada di sana. Aku tidak pernah melihat sebuah tangan yang begitu bersih. Seakan-akan ketika ia lahir ia tidak diberi Tanda tetapi itu tidak mungkin. Setiap orang harus diberi Tanda ketika lahir. Tidak mungkin ada yang seperti Silas.

Aku menatap Silas. Aku dan perempuan itu tidak menyisakan kedukaan dan menyimpannya di laci masing-masing. Sekarang tatapan perempuan itu tampak berusaha tenang.

"Bagaimana bisa?" Aku bertanya dengan mengernyitkan dahi. "Bagaimana bisa tanganmu begitu bersih?" Aku mengucapkannya keras-keras dan berpikir suaraku terdengar seperti memujinya.

Silas menyentak tangannya dan cepat-cepat menutup pergelangan tangannya dengan lengan kemeja yang panjang. Ia tidak berucap apapun. Kali ini, ia berbalik cepat dan berlari meninggalkanku. Aku berdiri menatapnya sampai hilang dengan pisaunya di tanganku. Pisau yang tadi ingin kukembalikkan jika aku tidak melihat pergelangan tangannya yang bersih.

Aku mengerjapkan mataku, apakah kedukaan membuatku menjadi gila? Tetapi aku merasa sangat sadar. Aku merasa sangat sadar semenjak kematian ayahku. Aku sadar atas tindakanku dan sadar atas apa yang kulihat. Aku masih bisa mengingat wajah ayahku saat ia membisikkan Merpati, aku masih ingat teriakan Terra yang masih berdengung di telingaku. Aku masih mengingat tangan bersih Silas. Aku menatapnya lebih dari sekilas, tidak mungkin aku salah. Ingatanku kembali saat aku menatap pergelangan tangan kanannya di Ruang Singgasana dan bagaimana aku hanya melihat sebuah gambar yang tampak mengabur. Apakah ingatanku saat itu juga benar?

Aku menatap pergelangan tangan kananku dimana seorang serigala menghadap ke atas seakan-akan mengaum pada bulan. Tidak mungkin ada yang seperti dia. Tidak mungkin lahir tanpa Tanda. Aku tidak pernah melihat seseorang seperti itu. Bagaimana caranya ia menghindari para Merpati saat lahir?

Ketika Silas pergi, aku berjalan pulang dengan pikiran-pikiranku tentang tangannya yang bersih. Aku tidak benar-benar berpikir arah jalanku. Aku hanya mendebat diriku sendiri apakah aku yang gila atau memang dia yang aneh. Tetapi keyakinan melingkupiku. Dia memang tidak memiliki Tanda. Aku tidak tahu caranya bagaimana tetapi semua omong kosong Sila memiliki Tanda Singa hanya omong kosong.

Ia sesuatu yang tidak pernah kutemui. Ia tidak mungkin menghapus Tanda dengan sebersih itu tetapi tidak mungkin seorang Merpati tidak memberinya Tanda. Apapun itu, apa yang kulihat memang benar adanya. Pergelangan tangan kanan Silas sebersih kertas putih.

Aku masuk melewati lorong rahasia menuju ruang latihanku. Aku tidak terkejut melihat Loren bersandar ke tembok, posisinya seperti sedang menunggu seseorang; menungguku. Ia menjauhkan dirinya dari tembok ketika melihatku masuk.

Aku pergi ke wastafel untuk mencuci tangan dan ia hanya menatapku tanpa berbicara sepatah katapun. Waktu untuk membersihkan tangan kugunakan dengan sangat baik sebelum menatap Loren dari cermin wastafel. Tatapannya langsung jatuh ke mataku di cermin.

"Yang Mulia—"

Aku mendengus dan ia langsung berhenti. Seluruh istana ini tampak sangat cepat melupakan kehadiran Raja Osmon. Semuanya, dengan instan, langsung memanggilku dengan panggilannya. Aku belum dinobatkan menjadi raja tetapi aku telah mendapatkan titel itu.

Aku mengeluarkan pisau Silas dan melemparnya asal. Loren mengernyitkan wajahnya melihatku membuang sebuah pisau. Ia menyadari pisau itu bukan milik kerajaan.

Karena aku tidak mengucapkan apapun, Loren melanjutkan, "Yang Mulia, kau tidak boleh pergi tanpa pengawasan."

"Aku boleh beristirahat, kata Fopel, dan ini caraku beristirahat." Aku mengangkat bahuku acuh tak acuh.

The Last Song of Winged Messanger #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang