16. Arran

2 0 0
                                    

Suara-suara menggema di kepalaku, menyebabkan pukulan yang terus-menerus di kanan kiri dahiku. Suara itu hasil dari pembahasan topik yang tidak lain tidak bukan adalah putri Axis, Silas. Pertemuan masih berlangsung tetapi aku lebih mendengarkan daripada aktif berbicara. Bagaimanapun, ini masih kerajaan ayahku dan aku hanya berhak mengambil alih bagian pertahanan dimana ayahku lemah di bagian itu.

Aku duduk di lengan meja panjang ini. Tubuhku tegak dengan tangan kanan yang mengusap-usap daguku. Pakaian kerajaan berwarna biruku membuatku sedikit kegerahan.

Rumor mengatakan putri Axis, Silas, akan mengambil alih pemberontakan ayahnya.

Bagaimana mungkin? Dia hanya seorang perempuan! Tidak berhak untuk menjadi penguasa.

Anda tidak ingat kalau beberapa hari yang lalu terjadi pemberontakan rakyat Sanja. Pendukung pemberontakan meneriakkan putri Axis sebagai ratu mereka.

Tuan-tuan, ada satu hal yang menguatkan putri Axis untuk naik menjadi penguasa. Rumor lain mengatakan ia adalah seorang Singa seperti ayahnya, di dunia dimana Singa telah langka, ini membangkitkan semangat pemberontakan kembali.

Pikiranku terbang ke wajah coklat Silas yang terbakar matahari. Parasnya yang keras telah menutupi segala kelembutan di wajahnya. Aku mencoba mengingat pada pertama kalinya bertemu dengan Silas, dan yakin bahwa wanita itu adalah seorang Serigala dari tindak-tanduknya. Saat mataku mencoba melihat lebih dekat pada pergelangan tangan Silas yang tertutup yang kulihat adalah sekelebat moncong serigala. Sekarang, keraguan melingkupiku, aku bahkan tidak yakin apakah itu benar-benar moncong hewan. Rasanya tato yang ada di pergelangan Silas terlihat aneh.

Aku terlalu fokus untuk mengendalikan amarah untuk fokus pada tanda yang dimiliki Silas. Aku sekali lagi mencoba mengingat pergelangan tangan Silas baik-baik dengan amarah yang berusaha kuredakan tetapi yang kuingat hanya bentuk segitiga yang nyaris tidak berbentuk. Seolah-olah tatonya terhambur di kulit coklat wanita itu.

Hah, lucu sekali.

Kurutuki emosi yang nyaris tak mampu kukendalikan itu. Bagaimanapun, ingatan adalah senjata. Dengan anggapan putri Axis adalah seorang Singa, itu merugikan keluargaku. Singa dalam beberapa tahun ini sangat langka, jika menemukan satu, kemungkinannya ia adalah Singa yang lemah dan terlalu takut untuk menyakiti orang-orang yang disayangnya karena sikap adilnya.

Bahkan tanda seharusnya tidak genetik tetapi Axis dan keluarganya sangat beruntung.

"Pangeran?" tanya Raja Osmon.

Aku menoleh menatapnya. Merasa sedikit malu karena melewatkan apa yang ia ucapkan, "Maaf, Yang Mulia. Bisa anda ulangi?"

Raja Osmon hanya tersenyum, "Pertemuan telah berakhir, Pangeran. Kau sepertinya terlalu banyak pikiran untuk menyadarinya."

Saat itulah aku sadar bahwa pertemuan di ruangan besar dengan penuh orang ini telah bersiap-siap untuk keluar. Mereka sedang menungguku dan Raja Osmon. Aku tersenyum dengan perasaan bersalah menggumamkan kata maaf. Kemudian, Raja Osmon berdiri dan melenggang keluar, aku mengikuti tepat di belakangnya.

Aku kembali ke ruang kerjaku dan menemukan setumpuk kertas-kertas yang berisi surat dan lainnya. Sudah sejak umurku lima belas tahun, aku mulai dibebani tugas-tugas kecil kerajaan tetapi ketika aku memutuskan untuk muncul ke rakyat Sanja, tugas-tugasku semakin banyak.

Berbagai surat dengan lilin merah yang membeku dan dicap sesuai dengan tempatnya berasal: kota, keluarga, atau kantor tertentu. Ada juga surat yang kunanti-nanti. Surat yang capnya hanya sebuah garis merah miring.

Sebuah ketukan terdengar dari pintu. Aku meletakkan surat dan kertasku ke dalam laci di bawah meja agar terlihat rapi kemudian duduk di kursi yang berada di balik meja. Kupersilakan siapapun itu masuk.

The Last Song of Winged Messanger #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang