17. Silas

2 0 0
                                    

Wajah sang pangeran kuperhatikan baik-baik. Wajahnya yang melihat lenganku selama dua detik penuh. Wajah itu terpatri di benakku. Tanpa kusadari, keraguanku tentang apakah ia melihat Tandaku sebelum ini hilang dan aku membentuk senyuman di bibirku. Aku tahu aku tersenyum sangat angkuh meskipun diam-diam aku tahu itu bukan Tanda asliku.

Matanya yang berbeda warna menatapku dengan amarah yang teredam. Warna abu-abu di matanya tampak seperti salju yang dingin dan coklatnya seperti membeku. Ia tahu apa artinya melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa aku seorang Singa. Ia tahu betapa bahayanya aku.

Aku Silas, putri dari pemimpin Revolusi Axis, sama seperti ayahku, pemegang Tanda Singa dan seperti ayahku, aku akan menjadi Singa yang kuat. Memang, aku masih tidak nyaman dengan penggantian Tanda ini. Singa telah menjadi Tanda yang sangat jarang dan mengemban Tanda ini sama saja beban. Aku tidak pernah mau menjadi Singa karena Tandanya sangat membebaniku.

Namun, aku menghormati keputusan ayahku. Ia memintaku untuk melanjutkan misinya untuk mengambil kerajaan dari raja yang lemah. Selama Sanja hanya dimiliki Raja Kelinci, aku tidak akan berhenti.

"Bagaimana bisa?" tanyanya. Matanya menuntut seperti melemparkan pisau pada wajahku.

"Apa?" tanyaku.

"Saat itu—saat di istana, aku melihat Tandamu. Kau seorang Serigala," jelasnya.

Oh, tidak. Kukira ia tidak melihat Tandaku. Sulit untuk menutup Tandamu kalau kau sedang bertarung tetapi aku berharap bahwa ia tidak melihatnya.

Aku mengerutkan dahiku, "Kau berbicara apa?"

"Aku melihat moncong Serigala. Mengaum pada bulan." Suaranya terdengar sangat yakin tetapi matanya sekilas memberiku petunjuk bahwa ia ragu. Aku hanya berharap ia melihatnya sangat sekilas.

"Tidak. Aku seorang Singa. Itulah mengapa orang-orang percaya pada kepemimpinanku."

Arran menaikkan sebelah alisnya, mendeteksi apakah itu kebohongan.

"Aku seorang Singa," ucapku tegas menatap matanya yang dingin tanpa emosi.

"Apa yang kau mau dari pemberontakan ini, Silas?" Suara Arran menantang. Kemudian, aku menyadari luka di wajahnya, bayangan hitam di bawah matanya. Ia menatapku dingin, tidak menampakkan ketakutan atas Tanda yang baru saja kutunjukkan.

Aku membencinya. Aku membenci Arran sekaligus takut padanya. Melihat Arran mengingatkanku atas suaranya, perintahnya yang dapat didengar, kepemimpinannya yang membuatku melihatnya sebagai pemimpin dan instingku yang mengatakan aku harus tunduk padanya. Aku membencinya karena dia memberi pengaruh padaku.

"Ayahmu lemah, Arran. Aku akan membuktikan seperti apa Kerajaan yang kuat," balasku sambil mengangkat daguku.

"Ayahku tidak lemah," bentak Arran dengan cepat. "Ia hanya berbeda."

"Ia berbeda makanya ia lemah. Ia bukan raja yang tegas. Lihat orang-orang di atas sana yang memanfaatkan ayahmu, Arran. Lihat dan perhatikan. Osmon tidak mampu memutuskan dengan tegas dan ia tidak adil. Berapa banyak kekacauan di luar sana yang tidak dipedulikannya?" aku balas membentak.

Keputusan-keputusan yang dibuat Osmon semata-mata berkata untuk kesejahteraan semuanya tetapi kenyataannya tidak begitu dan selama ini ia berpura-pura buta akan itu. Ia tidak melihat bahwa setiap keputusannya untuk menyejahterakan seseorang adalah bagian kesengsaraan dari lainnya. Osmon tidak memiliki konsep keadilan. Dia selalu berbelas kasih pada semua orang tanpa memandang siapa yang ia kasihani. Tidak seperti ayahku, ia berfokus pada keadilan bukan hanya kebaikan. Ia berfokus pada yang siapapun yang salah, ia harus dihukum.

"Ia memiliki kebaikan sebagai kemampuannya—"

"Kebaikan? Kebaikan itulah yang membawa kalian pada tahap ini. Salahmu dan Osmon yang tidak membunuhku saat kalian bisa. Kebaikan itu yang membuat kejahatan terus ada. Dengan membawa keadilan, yang mati harus mati, yang salah harus dihukum, yang baik dan jahat mendapat keadilan. Itulah dimana kepemimpinan raja dibutuhkan. Itulah dimana Osmon tidak memiliki kekuatan."

The Last Song of Winged Messanger #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang