Chapter 014:🐢🐢

19 18 0
                                    

SIAP BACA BAGIAN KEEMPATBELAS DARI CERITA SENJA TERAKHIR BERSAMA NADIRRA

~~~

JANGAN LUPA DUKUNG AUTHOR DENGAN CARA VOTE DAN COMMENT
AGAR AKU SEMAKIN GIAT UNTUK NULISNYA.
INGAT, AUTHOR LEBIH SENANG KALAU PEMBACA MENINGGALKAN JEJAK.

"Jangan pura-pura cuek nanti jatuh cinta jadi bahaya."

~~~

Dipagi hari yang sangat cera, mentari yang tersenyum lebar memancarkan aura-aura kehangatan. Si tampan memutarkan sebuah lagu kesukaannya. Sambil membuka laptopnya dan menulis cerita kembali. Kalibini ia akan bagikan di salah satu platform menulis, sesuai dengan arahan dari Guru bahasa Indonesianya.
    
Sena sangat antusias ketika mengetahui ada platform itu, karena kita tidak perlu susah payah untuk berbagi sebuah tulisan kita kepada orang lain.

Tok.... Tok... Tok...
     
Terdengar berulang kali suara ketukan pintu yang berarah dari pintu depan, dan berhasil membuat seorang Sena menoleh sesaat. Namun laki-laki itu mengacuhkannya dan terus terfokus sama tulisannya. Ketukan itu berlangsung sekitar beberapa menit yang membuat aktivitas menulis Sena terasa terganggu.
    
Karena sedikit penasaran, sesekali ia melihat dari balik jendela siapa orang yang mengganggunya. Yang mengakibatkan ka tidak lagi bisa fokus. Terlihat dari balik jendela kamarnya, ternyata seorang gadis telah berdiri di depan rumahnya, mengenakan pakaian bernuansakan ala-ala cewek-cewek Korea.
    
Namun tetap saja Sena mengacuhkan dan tidak memedulikannya sama sekali. Toh ia juga tidak tahu siapa gadis itu, namanya siapa, juga sama sekali Sena tidak kenal dengannya.
    
Ketika hendak duduk kembali, terdengar suara hentakan kaki yang begitu keras. Serta di iringi dengan sahutan. "Iya, sebentar?"
    
Ternyata suara suara hentakan itu, suara dari langkah kaki mamanya yang berlari terburu-buru menuju pintu depan. Sudah seperti raksasa di jaman purba saja, dengan tangan yang masih penuh busa sabun. Karena lagi nyuci piring di dapur.
    
Benar-benar Sena tak peduli sama sekali, malah ia membesarkan suara Radio. yang memutar lagu-lagu Budi Doremi. Kenapa? Karena suka aja gitu sama lagu-lagunya. Karena tersimpan sebuah kenangan ia dan sahabat kecilnya di lagu yang berjudul Melukis Senja.
    
Setelah berhasil meraih gagang pintu Tania langsung membuka pintunya dengan sempurna. Telah berdiri sedari tadi tegak lurus, mengenakan pakaian ala korea. Rok pendek selutut, baju kaus berwarna putih dan mengenakan suiter model baseball cirikas gaya ala gilrs band Korea. Cerah ceria terlihat yang membuat enak di pandang mata. Seperti cuaca di hari ini yang sangat cerah.
     
Tania mengedarkan pandangannya naik turun, meneliti orang yang ada di hadapannya itu. Tersenyum tipis yang giginya di hias dengan behel warna kehijauan. Serta dilanjut menyapanya Tania yang lagi memperhatikannya.
     
"Hai, Tante?" sembari melambaikan tangan ke arah wanita parubaya itu yang tangannya dipenuhi dengan busa sabun.
    
"Siapa?" heran Tania.
    
"Aku Zean, Tante. Anaknya Mama Keira sama Papa Aryo?" jelas.
    
"Ohhh, sudah besar ya, sekarang."
    
Suara radio itu terus berdengung di telinga Tania dan Zean.
    
"Aduh, ieu si Ujang! Naha radiona malah di gede krun suarana!" benar-benar Tania tidak habis pikir dengan tingkah anaknya. Ini sih bukan anak teladan tapi anak tidak sopan.
    
Masih telinga Tania dan gadis itu merasa berdengung sakit mendengar bas dari suara radio yang sampai menembus gendang telinga mereka berdua.
     
"Neng eulis? Sakedapnya, sok caliek hela we. Tante mau masuk dulu?" ucap Nania seraya menyuruh gadis itu duduk.
      
Zean hanya mengangguk tersenyum, sambil menuju kursi di teras depan rumah itu. Gadis itu tak sabar ingin cepat-cepat bertemu teman SD-nya dulu waktu masih sekolah bersama dan sebelum Sena pindah ke Serang.
    
Di dalam rumah, Tania terlihat sangat marah. Dengan raut wajahnya yang garang merah kehitaman seperti kepiting rebus yang kelamaan di panci panas.
     
Teriak-teriak sembari menggedor-gedor pintu kamar Sena. Teriakan Tania samapi terdengar keluar rumah. Namun Zeana hanya sedikit menaikan halisnya dan berkedip beberapa kali. Ia udah tahu betul dengan sikap Tania kepada anaknya Sena.
    
"Sena...  Sena..." Karena suara Radio itu terlalu besar, Hinga ia tak mendengar suara teriskan siapapun. Yang tadinya sedang menulis kini bernyanyi sambil joget-joget layaknya vokalis band papan atas lagi konser.

"Buruk.....!!"
    
Di sela-sela goyangnya, terdengar suara pintu terbuka begitu keras. Refleks Sena terkejut hingga ter lompat mendekati radio jadul peninggalan kakeknya. Dengan sigap tanpa aba-aba langsung mematikannya. Nafas tersengal-sengal karena kaget dan kecapean habis konser ala-ala. Berharap raksasa itu tidak memangsanya dengan brutal.

"Eleh, eleh," Tania menggelengkan kepalanya serta berkacak pinggang.
Soto matanya menatap Sena bengis, aura kemarahan begitu membara seakan ingin langsung menerkam mangsa yang sudah tergeletak lemas tak berdaya.
       
"Ai kamu teh, Ujang nanaonan! teu sopan pisan. Itu di payun teh aya tamu Radio malah di gedekn suarana!" seakan bola matanya mau copot tatapannya begitu tajam setajam silet.
      
Sena hanya menundukkan kepalanya, seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. Melihat mamanya lagi marah-marah. "Aduh, Mama cantik deh terus lucu juga kalau udah marah-marah pake bahasa suanda. Pantesan Papa cinta banget sama, Mama." Rayuan gombal keluar dari mulut Sena. Berharap amarah mamanya mereda.
     
"Gak usah rayu-rayu! Emang dari dulu Mama itu udah cantik, lucu, manis. Semua orang juga udah tau. Ayo bantu, Mama?" tutur Tania yang masih emosi sambil menjewer telinga anaknya.
     
"Aduduh sakit, Ma... Sakit!" Senan meringis kesakitan, telinganya di jewer sang Mama.
      
"sekalian kamu bantuin neng gelis di rumahnya, ia pesan banyak bunga dan gak ada yang bantuin memasangnya." Lanjutk perintahnya dan memeringati agar Sena menurut.
    
"Siapa dia! Ogah!?" dengan ketus Sena menolak.
    
"Dia pelanggan kita. Jadi kamu taukan pelanggan adalah raja meski tanpa mahkota sih?" rayuannya agar ia mau menuruti perintahnya.

"Kalau gak mau! Yaudah, uang saku kamu selama lima bulan Mama potong!" di lanjut ancaman mematikan yang membuat laki-laki itu tak berkutik sedikitpun.
    
"Lagian juga yang pesan bunganya itu temen kamu waktu SD sebelum kita pindah ke sini." Tutur nya kemabli.
    
Sena menautkan kedua alisnya,

"Siapa?"
    
"Uhhh, pokonya mah neng geulis."
    
"Iya, siapa namanya."
    
"Zean?"
    
"Hah..." Sena benar-benar dibuat terkejut oleh mamanya ketika mendengar nama Zean yang keluar dari bibir Tania. Ia masih bingung sama sosok yang di sebutkan namanya tadi. Sedikit lupa-lupa ingat, karena itu sudah lama.
    
"Ehh, malah bengong, ayo bantuin?"
    
Sena hanya tersenyum kesal mengangguk "Iya, Ma."
    
Keterpaksaan yang sering kali terulang, bikin Sena ingin berontak tapi tidak bisa, karena itu Mama kandung yang melahirkannya. orang. "Emang siapa dia, sampe-sampe mesti gue yang batuin. Emang di rumahnya gak ada orang. Ahhh, aneh!" keluhan Sena sembari menghentak-hentakan kakinya.
     
Meskipun ia merasa kesal, tetap tetap harus membantu mamanya. Daripada nanti uang bulanan ya di potong, apalagi sampai Ima bulan anjir. Kalau sudah orang tua yang memerintah Sena benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolaknya.

🐢🐢🐢

Udah segini dulu ya bab ini,
Gimana suka gak?
Kalau suka jangan lupa komen dan vote yah....

Kalau misal ada typo jangan malu untuk mengoreksi...
Author lebih senang kalau ada yang berani memberi masukan.

Salam kenal, saya s.a.j Kim

Senja terakhir bersama Nadirra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang