I. Rahayu, Kisah Akhir Hayat

78 26 2
                                    

Aku berbaring lemah di ranjang kayu yang semakin lapuk. Seiring berjalannya waktu, semakin aku seperti kayu itu. Kulitku kian berkerut, sebagian banyak dari seluruh rambutku berwarna putih, dan penglihatanku kini buram.

Mungkin besok ajalku tiba, tapi mungkin juga nanti sore. Aku pasrah, mau melawan pun kakiku sudah tidak mendukung. Aku harap-harap cemas ada yang mendoakanku ketika pulang ke rumah Tuhan. Aku hanya takut tidak ada yang ingat denganku dan membiarkan kuburanku dipenuhi rumput liar dan lumut.

Namun, anak itu, Agus namanya. Dia datang dan membuka pintu kamarku begitu saja. Tak lupa dengan baskom merah yang selalu dia bawa ketika menghampiriku.

"Sudah waktunya aku memandikanmu, Kakek!" Itulah katanya saat melangkah mendekatiku.

Aku tidak mengerti dengan anak itu, dia selalu gembira bertemu denganku. Namun, setidaknya tawa nyaringnya menemaniku di usia tua.

Agus duduk di sebelahku, duduk di atas ranjang kayuku hingga menimbulkan bunyi krek.

Dia lalu memandikanku dengan kain basah, dilap perlahan dari wajah hingga ujung kaki. Aku tersenyum, sepertinya hanya Agus dan ibunya yang akan ingat padaku.

"Kakek, betapa sedihnya hidupmu tanpa pasangan. Dari aku SD hingga SMP kau masih terus kulihat sendiri." Agus berucap tanpa memandangku. Aku tersenyum getir mendengarnya, anak sekecil itu tahu aku menyedihkan.

"Kakek, kudengar dari Ibu, kau tidak punya Istri. Mengapa? Apakah tidak ada yang menyukaimu?" Agus bertanya, kini dia selesai memandikanku dan meletakkan baskom merahnya di bawah ranjang.

"Tentu saja ada."

"Lalu mengapa kau sendiri, Kakek? Atau apakah karena selera mu yang tinggi?"

Aku menggeleng, mana mungkin aku menolak pasangan karena seleraku yang tinggi? Memangnya aku siapa?

Alis Agus berkerut bingung, aku tertawa kecil melihatnya.

"Saya punya, Nak. Hanya saja kisah cinta kami kandas begitu saja."

"Kenapa Kakek? Apakah seperti ibuku yang berpisah dengan bapakku?" Pertanyaan Agus lagi-lagi membuatku tidak habis pikir, dia terlalu polos.

"Orang tuamu berpisah sebab sudah tidak memiliki rasa seperti dahulu kala. Berbeda dengan kisah saya, kami saling mencintai, tetapi harus terpisah karena suatu sebab."

Agus memperbaiki duduknya lebih mendekat kearahku. Wajahnya terlihat bersemangat.

"Ceritakan padaku, Kakek! Aku ingin mendengarnya."

Aku diam beberapa saat. Kisah lapukku, kisah yang sudah lama aku pendam. Namun, sepertinya tidak salah juga jika aku menceritakannya kepada Agus. Toh, sebentar lagi aku mati.

Dahulu, aku panik, ibuku terus batuk-batuk dan mengeluarkan darah. Aku sudah bekerja dari siang hingga malam, membantu Paman di samping rumah menjual ikan di pasar, tetapi tak cukup juga untuk membawa Ibu ke klinik.

Malam tadi aku menangis memikirkan nasib ibuku yang tragis. Dia menjanda dari saat aku SMA, bekerja keras untuk menyekolahkan ku hingga harus sakit-sakitan.

"Ibu, Dimas pamit dahulu. Dimas akan menemani Paman di pasar." Aku pamit ketika hari semakin siang, takut Paman memarahiku di pasar seperti kemarin.

"Aku akan segera pulang. Makanlah, Ibu. Aku akan membelikan obatmu di perjalanan pulang nanti."

"Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Sampaikan salamku kepada pamanmu."

Aku menyalami tangan Ibu lalu berlari keluar rumah menuju pasar sebelum kesabaran Paman habis. Sesampainya aku di pasar, kulihat dagangan Paman laku dan dia tersenyum senang.

Ah, sepertinya aku tidak akan dimarahi.

"Dimas, kemana saja kau? Lihatlah dagangan kita banyak yang membeli. Kemarilah, bantu saya menjualnya hingga habis." Paman menyapaku ketika melihatku berdiri di sampingnya.

"Hari ini sudah laku berapa, Paman?"

"Pokoknya banyak. Cepatlah."

Aku segera mengambil alih posisi Paman, aku melayani semua pembelinya dengan senyuman yang tidak pudar dari wajahku. Ikan semakin sedikit dan pembeli yang tadinya bergerombol di depanku pun semakin sedikit.

Keringatku bercucuran, sebenarnya melayani mereka semua cukup melelahkan. Namun, sepertinya pekerjaan inilah yang paling mudah di antara lingkungan tempat tinggalku.

"Kau dengar kabar saudagar kaya itu?"

"Yang mana?"

"Yang meminjamkan uang ke saudara-saudara kita."

"Ah, dia. Saudagar yang baru-baru saja pindah ke kampung kita."

"Rumahnya sangatlah megah. Agaknya dia memiliki kekayaan tujuh turunan."

Aku mendengar percakapan dari pembeli ikan Paman. Mereka membicarakan seseorang yang terdengar sangat tersohor. Aku mendengarkan dengan seksama dan akhirnya aku berpikir sepertinya dia bisa membantuku membawa Ibu ke klinik.

"Tuan." Aku memanggil mereka sebelum beranjak dari hadapanku.

"Ada apa, Bung?"

"Siapa saudagar kaya itu?"

"Oh, kamu mendengarnya? Saya tak tahu namanya. Namun, dia tinggal dekat sini. Kau tinggal berjalan hingga persimpangan di depan jalan, jika melihat rumah megah nan indah, di sanalah dia tinggal."

"Terima kasih Tuan."

Aku yakin akan mendatangi rumahnya sore nanti, setelah dagangan Paman habis dan aku diberi upah.

BERPUTAR DALAM BELENGGU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang