Z a l e y a _ 0 1

1K 47 1
                                    

Leya tidak bisa menahan air matanya untuk luruh ketika ibunya kembali berbuat ulah. Nafasnya tersengal sesak, sementara jauh didalam sana, hatinya bergemuruh oleh rasa marah yang tak kuasa ia luapkan.

Leya, hanya mampu menatap lelah ibu nya yang kini duduk dikursih tanpa sedikitpun merasa bersalah.

"Mau sampai kapan sih kayak gitu terus bu?" Lirihnya capek. Ia baru saja pulang kerja dan disambut oleh serombongan laki-laki paruh baya yang sedang memaki ibunya karena tidak mau bayar hutang.

"Apa sih? Tinggal bayar aja apa susahnya? Jangan pelit kamu sama orang tua. Kalau bukan karena saya, sekarang kamu nggak bakal ada didunia. Kalau bukan saya yang ngasih kamu makan, sudah lama kamu mati Leya!" Maki ibunya lebih keras. "Masih untung saya mau ngurusin kamu! Kamu liat Bapak kamu? Kemana dia? Sedikitpun dia nggak ada tanggung jawab sama kamu! Sekarang kamu sudah dewasa. Bisa cari uang sendiri, soal kayak gitu aja kenapa harus diributin? Kamu punya banyak hutang sama saya Leya. Sekarang waktunya balas budi." Sentaknya.

Selalu seperti itu. Kalimat yang sudah ribuan kali ia dengar dari mulut ibunya. Hati anak mana yang tidak sakit? Ketika seseorang yang harusnya menjadi tameng dari segala kesakitan. Justru malah menganggap tanggung jawabnya untuk membesarkan sang anak adalah hutang yang harus dibayar anaknya ketika dewasa.

"Bu, aku kerja bukan cuma buat bayarin hutang ibu! kebutuhan kita banyak. Ada Gara juga yang harus di biayai sekolahnya."

"Suruh siapa nyekolahin dia. Gegayaan, kayak yang punya banyak duit aja. Daripada buat nyekolahin berandalan itu, masih mending uangnya buat ibu." Gerutunya seraya mengambil sebatang rokok dari atas meja.

Memangnya apa yang dia harapkan? Ibunya, jauh dari kata pengertian.

Leya membuang wajahnya ketika asap rokok mengepul hingga baunya memenuhi seisi ruangan. Muak dengan wajah dihadapannya jika saja ia tidak ingat bahwa wajah itu adalah milik orang yang telah melahirkannya.

"Cari kerjaan lagi buat tambahan. Gaji kamu disana enggak bakal cukup buat menuhin kebutuhan kita." Ujarnya. Membuat Leya melongos tidak habis pikir.

"Malu bu! Harusnya ibu ngomong gitu sama suami ibu. Dateng ke rumah cuma buat jadi beban. Kerja! Suruh dia kerja, enak banget dateng-dateng cuma buat numpang hidup!"

"Zaleya Kareena!" Reta, ibu Leya mendelik tidak terima.

"Apa? Aku benerkan? Ibu_ bisa nggak sih nikahin laki-laki yang bener bu. Kalaupun enggak bisa tanggung jawab sama aku dan Gara, paling tidak dia bisa memenuhi tanggung jawabnya ke ibu."

"Enggak usah sok ngajarin saya kamu! Tau apa kamu? Ngerti apa?" Nadanya semakin tinggi dengan wajah merah padam karena amarah. Segitunya wanita itu membela suaminya yang tidak berguna, sementara caci makinya mengalir deras ia tunjukan untuk darang dagingnya sendiri.

Bagaimana bisa ada seorang ibu yang seperti itu?

Pertanyaan itu terus terngiang dalam benaknya tanpa mampu ia suarakan.

Brakk

Ketegangan diantara keduanya terintrupsi ketika seorang anak remaja laki-laki keluar dari kamarnya dan menutup pintunya dengan dibanting.

Kening Leya mengeryit ketika melihat adiknya nampak rapih dibalik jaket hitam dan celana jenas robek yang memperlihatkan keseluruhan dengkulnya.

"Mau kemana?" Leya langsung menghadang langkah sang adik yang seolah tidak melihat keberadan ibu dan kakaknya.

"Main."

"Sudah malam, besok kamu sekolah."

Sama sekali tidak ditanggapi, Leya dilewati begitu saja.

"Anggara_" panggilan Leya kembali Gara hiraukan.

Hingga sampai keluar rumah mereka, Gara tidak lagi mengucapkan kata sepatahpun. Membuat langkah Leya terhenti ketika diluar, ternyata sudah ada temannya yang menunggu.

Leya lagi-lagi menghela nafasnya panjang. Kesabarannya benar-benar diuji.

"Kamu lihat itu? Pada akhirnya dia akan tetap jadi seorang berandalan. Sama seperti Bapaknya."

Ibunya tiba-tiba sudah berdiri disampingnya.

"Seorang ibu yang hanya membawanya lahir ke dunia dan mengabaikan tanggung jawabnya setelahnya. Gak pantas berkomentar apapun." Sautnya. Keduanya hampir kembali terlibat percekcokan namun urung ketika motor lain berhenti dihalaman rumah. Wajah ibunya seketika berseri-seri.

Tuhan andai tidak berdosa, ingin sekali ia menampar wajah ibunya yang seperti remaja tengah dimabuk asmara. Tanpa mengatakan apapun Leya memilih untuk berlalu. Meninggalkan sang ibu yang langsung berjalan menghampiri suami tidak bergunanya dan mulai menghujaninya dengan kata-kata cinta.

Leya masuk kedalam kamarnya dan langsung menguncinya. Nafasnya mulai ia atur derunya, hatinya mulai ia minimalisir dari rasa sakit yang menyesakan. Pikirannya mulai kembali ia tata, secepat mungkin ia enyahkan setiap pemikiran buruk yang sering berkecamuk. Hanya dalam diamnya, yang hingga saat ini belum bisa ia cari adalah alasan baik dibalik semua pilu yang ia rasakan. Berkali-kali ia mengandaikan waktu yang bisa kembali diputar dan andai ia bisa memilih takdir. Leya, Zaleya benar-benar tidak ingin dilahirkan.

.
.
.
.
.

B e r s a m b u n g . . . . .

Haiii aku bawa cerita baru . . . . .

Gimana? Lanjut nggak?

Selasa, 5 Februari 2024

ZaleyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang