Kalana keluar dari dalam mobilnya lantas berdiri, bersandar pada sisi badan mobil. Pandangannya menatap lurus kedepan, kepada Leya yang tengah berlari kearahnya sambil membenarkan ikatan rambutnya.
Belum Leya bersuara, memar di sudut bibir Leya lebih dulu menarik atensi Kalana.
"Bibir kamu kenapa?" Kalana maju mendekat. Kepalanya meneleng namun Leya segera mendorongnya menjauh.
"Gak papa."
Mendengar itu Kalana lantas menghela nafasnya berat. "Pasti ini ada hubungannya sama keputusan kamu buat nyari kontrakan kan?" Selidik Kalana.
Leya diam. Pandangan matanya jauh menatap kedepan. Tidak sepenuhnya abai dengan pernyataan yang baru saja Kalana ucapkan.
"Laporin polisi Ley! Kesel banget aku sama kamu yang kesannya tuh gak tegas. Berapa banyak orang-orang itu nyakitin kamu? Berapa sering kamu dilecehin?" Sementara kakinya mulai menginjak gas mobil. Kepala Kalana ia tengokan kepada Leya yang kini sudah menyandarkan seluruh punggungnya pada kursih mobil. Kedua matanya terpejam. Tapi Kalana tau jika gadis itu tidak tidur.
"Ribet Lan. Aku harus kerja." Gumamnya, lantas melirik Kalana yang wajahnya terlihat asam. Kedua sudut bibirnya terangkat tipis. "Makasih udah khawatir. Tapi sekarang aku udah mutusin buat keluar dari sana. Kamu harusnya cukup tenang dengan kenyataan itu." Lanjutnya.
"Padahal udah dari kapan tau aku minta kamu buat pindah dari sana."
"Momentnya belum pas. Lagian tadinya aku pikir aku bisa bertahan tinggal sama ibu. Karena biar gimanapun, baik-buruknya beliau masih wanita yang udah ngelahirin aku. Tapi kayaknya bertahan disana malah bikin aku gila." Ujar Leya. Kalana tentu mengerti. Keduanya sudah berteman sejak lama, masalah satu sama lain bukan lagi jadi rahasia pribadi.
"Leya lo harus tahu bahwa istilah durhaka tidak hanya berlaku pada anak ke orang tua. Tapi orang tua yang durhaka ke anak juga ada. Contohnya ke dua orang tua kamu. Mau enak bikinnya aja. Giliran dah jadi malah gak mau ngurusin. Jadi sebelum kamu mikirin mereka, kamu harus lebih dulu mikirin diri kamu sendiri. Gak papa egois sama orang yang perduli ke kamu juga nggak." Cerocos Kalana panjang lebar. Sungguh, bagi dia yang terlahir dari keluarga yang harmonis lagi berkecukupan. Mendengar kisah Leya dan sederet cerita Leya tentang keluarganya selalu sukses menghantarkannya pada titik tidak habis pikir, pun tidak menyangka jika di dunia ini ternyata memang benar ada orang tua yang sesakit dan se toxic itu sama anaknya sendiri.
"Tadinya aku berharap ibu berubah Lan_"
"Orang model ibu kamu tuh berubahnya kalo udah kena azab." Ketus Kalana.
Tak pelak, meski ia begitu membenci ibunya. Mendengar celetukan Kalana membuat Leya brigidik ngeri. "Kalana ngomongnya." Tegur Leya.
"Liat aja Ley. Kalo gak meninggal ke tabrak gerobak sayur. Paling ibu kamu meninggalnya karena kesedak ludahnya sendiri pas lagi marahin kamu."
Leya menggelengkan kepalanya. Namun kedua sudut bibirnya tidak kuasa untuk tidak terangkat. Membentuk seutas senyum tipis seraya menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.
"Mau mampir kemana dulu?" Tanya Kalana mengubah topik pembicaraan. Bisa gila dia kalau setiap bertemu dengan Leya ada saja ulah ibu dan bapak tiri dari temannya itu.
Leya menggeleng. "Nggak usah. Kamu mau mampir dulu?"
Kalana juga menggeleng.
"Yaudah, ini berarti langsung aja?" Tanya Kalana.
Leya lantas mengangguk. "Gak papakan? Kamu nggak ada kegiatan lain lagi?"
"Aku free." Ucapnya seraya memutar kemudi kearah kanan. Mobil yang semula melaju sedang, melambat. Didepan mereka sedang ada proyek pembangunan. Macet tidak dapat dihindarkan lagi. Beberapa kali Kalana bahkan harus menekan klaksonnya karena pengendara motor yang ugal-ugalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zaleya
Romance"Kamu juga merasakan betapa sakitnya merasa terbuang. Lalu sekarang apa bedanya ketika kamu bahkan ingin langsung melenyapkan keberadaannya. Siapa yang paling jahat? Dunia? atau kamu yang langsung menghakimi keberadaannya?" Kedua mata mereka bersita...