Z a l e y a _ 1 0

508 47 5
                                    

Leya menutup pintu rumahnya dengan jantung yang masih berdebar gila. Mulutnya menggerutu heran, merasa aneh sekaligus tidak habis pikir dengan Hema. Beralih pada jendela kaca, Leya buka sedikit gordennya. Mengintip Hema yang rupanya masih berdiri menatap kediamannya. Masih bergelut dengan otaknya yang sangat kesulitan mencerna tentang apa yang baru saja terjadi.

"Ada apa?"

Leya terperanjat. Menatap sang adik horor.

"Hish! Ngagetin aja kamu." Kesalnya.
Gara mengangkat satu alisnya heran. Kepalanya lalu nyelonong, ingin tahu apa yang membuat kakaknya macam maling yang ketangkap basah. Namun Leya menghalangi, ia tutup seluruh wajah sang adik dengan kedua tangannya lantas mendorongnya mundur.

"Bukan apa-apa."

"Kalau mbak gini aku malah jadi curiga." ujarnya seraya melepaskan tangkupan kedua tangan Leya dari wajahnya.

"Ya mangkannya jangan curigaan jadi orang. Gimana sekolah kamu hari ini?" Leya mencoba untuk mengalihkan perhatian Gara.

Ditanya seperti itu, Gara hanya mengedikan bahunya ringan.

"Apa itu maksudnya?"

Memberikan jawaban atas pertanyaan sang kakak. Gara raih amplop warna putih yang sebelumnya ia taruh diatas lemari kecil. Lantas diberikannya kepada Leya.

"Apa ini?"

"Gaji aku."

Kening Leya berkeyit heran, lantas manik beningnya menatap sang adik tidak percaya. "Kamu kerja? Sejak kapan?"

Maniknya menatap keatas, berusaha mengingat. "Nggak inget, udah lama."

"Cuma kerja di bengkel tiap habis pulang sekolah. Jadi nggak ganggu sekolah juga."

"Tetep aja. Ada mbak. Kamu fokus sekolah aja."

Gara menggeleng menolak. "Sambil main mbak. Nggak papa. Aku cuma punya mbak dan mbak juga cuma punya aku. Kita harus saling bantu." Manik keduanya bertemu. Gara menatap sang kakak syarat akan rasa belas kasih. Wajah ayu itu, jelas lelahnya tidak mampu perempuan itu tutupi keberadaannya.

"Memang nggak seberapa. Tapi seenggaknya bisa bantu mbak buat bayar kontrakan." Imbuhnya. Tak pelak apa yang baru saja adiknya tuturkan membuat nafas Leya terhela dalam.

Ia usap sayang kepala sang adik. "Mbak tuh bukannya seneng tapi malah sedih lihat kamu harus susah payah gini. Kamu nikmati aja masa sekolah kamu, jangan merasa terbebani sama apa yang terjadi dikeluarga kita. Mbak bisa atasi semuanya. Kamu, bersikaplah sesuai usia kamu."

"Dan ngebiarin mbak susah payah sendirian? Nggak. Aku nggak setuju. Kita hidup berdua jadi susah senangnya harus ditanggung sama-sama." Balas Gara.

Leya kehilangan kata-katanya. Memikirkan tentang apa yang terjadi dihidup mereka. Leya begitu bersyukur sang adik tumbuh dengan rasa prihatin atas keadaan mereka. Tapi tidak lantas membuat kesedihan itu tidak mencengkram jiwanya.

Leya bawa sang adik kedalam dekapannya. Benar, mereka hanya memiliki satu sama lain untuk saling mendukung dan menguatkan. Ia usap punggung Gara penuh sayang, penuh perasaan hingga setitik air mata membasahi kedua pipinya yang tirus.

Jika kata pengandaian tidak boleh terucapkan sebagai bentuk penerimaan atas takdir Tuhan. Tolong beri tahu Leya bagaimana caranya bersyukur tanpa harus merasa bahawa ia sedang membohongi dirinya sendiri.

.
.
.
.
.

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasanya. Pergi bekerja, lalu malamnya mengajar Lexia. Terus saja begitu sampai lupa jika baru saja kemarin ia mendapatkan sebuah penawaran tentang pernikahan yang sebelumnya tidak pernah terbesit sedikitpun dalam benaknya, dalam rencana hidupnya.

ZaleyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang