Leya menarik kopernya tanpa sudi menengok pada ibunya yang kini menatap Leya dengan alis berkerut. Kepalanya yang semula bersandar pada bahu suaminya ia angkat.
"Mau kemana kamu?" Tanyanya seraya bangkit. Menyusul Leya yang sama sekali tidak berniat menghentikan langkahnya.
Belum mendapatkan jawaban dari Leya. Gara, anaknya yang lain menyusul keluar dari dalam kamarnya dengan tas ransel besar dibelakang tubuhnya.
"Apa-apaan kalian ini!" Suaranya langsung meninggi. Pikirannya yang biasanya dangkal, kali ini langsung dapat memahami situasi yang sedang terjadi.
"Bukan urusan ibu." Jawab Gara singkat. Kaki panjangnya kian bergegas. Berusaha menyusul Leya yang sudah berada di luar rumah.
Tidak terima dengan apa yang terjadi. Reta kembali menyusul kedua anaknya. Kakinya berlari menghampiri Leya.
Plak
"Kamu pikir apa yang sedang kamu lakukan huh?" Tanya Reta syarat akan amarah. Kedua matanya menatap Leya nyalang.
"Apa? Aku cuma nurutin mau ibu buat keluar dari sini. Lagipula apa perduli ibu? Mau aku disini ataupun nggak, gak akan ada bedanya. Kecuali aku yang bakal gila ngadepin kalian berdua." Ucap Leya. Kedua matanya balas menatap Reta yang amarahnya kian memuncak.
"Setelah banyak uang yang saya keluarin buat hidup kalian berdua. Kamu pikir segampang itu kamu melepaskan diri dari saya Zaleya?" Jari telunjuknya menoyor kepala Leya, "Berapa kali saya katakan jika kamu punya banyak hutang ke saya. Dan sekarang kamu mau melarikan diri dari tanggung jawab kamu itu? Mimpi kamu!" Reta kembali mendorong kening Leya, membuat tubuh itu terdorong kebelakang.
"Kamu, tidak akan kemana-mana. Ibu sudah menjodohkan kamu dengan Pak Doni dan dia bersedia menjadikan kamu istri ke keduanya. Kamu tinggal nurut dan ibu jamin hidup kamu akan mudah setelah ini." Bibirnya kembali berbicara yang setiap untaian kalimatnya adalah hal yang membuat Leya benar-benar menyesali kelahirannya.
"Kalau begitu ibu saja yang menikah sama dia sana. Aku lebih baik mati daripada jadi istri kedua. Gak perduli mau sekaya apapun dia, aku masih bisa hidup dengan uangku sendiri." Tolak Leya mentah-mentah.
Tak pelak, penolakan itu membuat Reta kian naik pitam. Tangannya meraih rambut Leya, menjambaknya hingga kepala gadis itu mendongak keatas.
"Ibu!" Seru Gara.
"Diam kamu!" Seru Reta lantang. Matanya melotot, wajah putih merkurinya memerah. Seperti udang rebus namun itu masih terlihat jauh lebih baik.
"Ibu, nggak ada ibu yang nyakitin anaknya seperti ibu yang nyakitin kami!" Marah Gara. Kakinya maju menghampiri sang ibu yang masih mencengkram rambut panjang Leya. "Bahkan nggak ada hewan yang memakan anaknya sendiri." Imbuhnya lalu mencekal lengan Reta, memaksa ibunya agar melepaskan jambakannya pada rambut Leya.
Namun rupanya Reta bersikeras. Wanita itu sama sekali tidak berniat melepaskan jambakannya. Yang ada jambakannya dirambut Leya kian menguat. "Anton. Kemari!" Teriak Reta.
Yang dipanggil kemudian memunculkan batang hidungnya setelah beberapa saat hanya menjadi pendengar sambil menikmati camilan diatas meja.
"Pegang becoh ingusan itu! Kalau terus ngelawan pukul saja kepalanya biar bisa sedikit berpikir. Sebelum membandingkan saya dengan hewan, ada baiknya kamu berguna dulu jadi anak saya. Sekolah saja kamu nggak becus sialan. Buang-buang uang saja." Setelah melontarkan sederet kalimat makian untuk anak bungsunya. Perhatian Reta kembali beralih kepada Leya yang kian menatapnya remeh. Nafasnya memburu hebat, maka tanpa memikirkan apapun selain demi memuaskan hasratnya yang merasa diremehkan. Reta tarik rambut Leya agar mengikuti laju langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zaleya
Romance"Kamu juga merasakan betapa sakitnya merasa terbuang. Lalu sekarang apa bedanya ketika kamu bahkan ingin langsung melenyapkan keberadaannya. Siapa yang paling jahat? Dunia? atau kamu yang langsung menghakimi keberadaannya?" Kedua mata mereka bersita...