Z a l e y a _ 0 2

394 26 0
                                    

Ditengah hiruk pikuk manusia dengan segala ceritanya. Leya melihat setiap wajah yang hadir dalam jarak pandangnya terlihat begitu bahagia. Bibir yang tersenyum lebar, mata-mata yang terpejam karena tawa. Leya seperti tidak melihat jejak-jejak kesedihan disana. Entah karena sungguhan bahagia atau karena mereka yang terlalu pandai menyimpan luka.

Tidak ingin mengeluh lebih cepat, segera ia menghentikan pikirannya yang mulai berantakan. Langkahnya semakin cepat menuju meja yang penghuninya kini tengah melambai-lambaikan tangannya ke arahnya.

Kedatangan Leya disambut wajah menyenangkan. "Makan yang banyak. Biar gemoy kayak aku." Ujarnya, lalu meletakan kulit ayam miliknya diatas nasi Leya. Seperti biasanya.

"Makasih Kalana."

Yang disebut tersenyum manis, membuat pipinya yang gembil semakin terlihat berisi.

"Gimana kuliah kamu?" Leya mulai berbicara.

"Seperti biasa. Enggak ada yang menarik." Kalana sejenak menghentikan kunyahannya, hanya untuk tersenyum lebar. "Kecuali Jenan, melihat dan bertemu dengannya selalu menyenangkan. Aku suka."

Ditempatnya Leya hanya menggeleng tidak habis pikir.

"Sayangnya, dianya nggak suka kamu." Ledek Leya.

"Leya!" Kesalnya. "Nggak usah diingetin ih." Wajahnya yang semula sumringah langsung berubah masam. Bukannya merasa bersalah, tawa Leya justru mengudara. Selalu menyenangkan menggoda Kalana dengan cinta sepihaknya.

"Malesin banget." Sungut Kalana.

Bibirnya cemberut. Lagi-lagi membuat pipinya yang gembil semakin terlihat menggemaskan. Tidak kuat melihat pipi Kalana yang lucu, Leya mencubit salah satu pipinya gemas. "Yang lain aja sih. Cowok kan enggak cuma dia aja. Lagian apa gak capek kamu ditolak mulu. Udah berapa kali nembak? lima? sepuluh_"

"Dua belas kali." Ralat Kalan cepat.

"Wow.." Leya bahkan kagum. Ah, lebih tepatnya tidak menyangka jika masih ada perempuan se bucin dan se tolol temannya ini. "Satu lusin." lirihnya kemudian.

"Akan jadi satu kodi dalam kurun waktu beberapa bulan kedepan."

Leya mendelik. "Hey, yang bener aja!" pekiknya, membuat beberapa pasang mata langsung menoleh ke arahnya sebagai respon ketidak nyamanan mereka.

"Berisik Leya." Ingat Kalana.

"Gila ya kamu!" Bisiknya. Leya masih protes tidak terima.

"Selama aku masih ngejar Jenan, tandanya aku masih waras Leya. Sehat lahir dan batin."

"Aku gak mau ya jadi tempat penampungan air mata kamu tiap ditolak dia."

Kalana mengibaskan tangannya tengil. "Ck. Gak bikin banjir juga." decaknya.

Leya menghempaskan punggungnya pada sandaran kursih. "Keras kepala banget."

"Leya. Jodoh itu harus dikejar dan diusahakan, bukan cuma dinanti."

"Kalau kamu bukan mengusahakan lagi namanya. Tapi memaksakan diri."

"Gak papa. Yang penting nanti endingnya Jenan dan Kalana menikah."

Kening Leya semakin mengkerut dalam. Ayam dihadapannya sudah tidak menarik lagi, "Kalana, terlalu berharap hanya akan ngebuat kamu kecewa pada akhirnya."

Sementara Kalana tidak ambil pusing. Reaksi Leya adalah hal yang sudah tidak asing lagi. Malah biasanya lebih parah dari ini, beruntung sekarang mereka sedang berada ditempat umum. Coba aja kalau sedang ada di apartemennya, sudah habis kedua pipinya kena cubitan ganas Leya.

ZaleyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang