Leya kini tengah duduk dengan pandangan jauh menerawang kedepan, sementara Gara. Anak laki-laki itu masih setia dengan kebungkamannya. Entah apa yang ia pikirkan, namun ketika Leya melihat bagaimana raut wajahnya, tekanan batinnya makin bertambah.
Leya menghela nafas panjang, tetap khawatir melihat sang adik yang nampak muram dibalik rahangnya yang mengeras. "Mbak minta maaf belum bisa memberikan hidup yang layak buat kamu." Leya sedikit meringis diakhir kalimatnya. Sudut bibirnya terasa sakit ketika ia berbicara.
"Jangan minta maaf untuk hal yang bukan salah kamu." Ujar Gara datar. Gengsinya tinggi sekali. Padahal sejak tadi matanya terus mencuri tatap, pun mulutnya yang sesekali terbuka hendak berbicara namun kembali urung.
Mendapatkan respon yang terkesan ketus itu Leya mencebik sebal. Kedua matanya benar-benar tidak nyaman sekaligus bosan mengingat cuma hanya ada dua ekspresi yang selalu nampak pada wajah sang adik. Kalau bukan datar ya wajahnya yang selalu mengetat karena amarah.
Disela kebungkaman keduanya, Hema datang seraya meletakan beberpa botol air mineral dan makanan ringan juga roti. "Dimakan." Ujarnya lantas mengambil duduk tepat disamping Leya.
Dirasa tidak ada pergerakan apapun. Hema yang semula sedang fokus memindahkan es batu ke sapu tangannya terhenti. Manik matanya berlari menatap Leya lalu berpindah kepada Gara. "Saya nggak suka mengulang kalimat yang sama." Pungkasnya lalu kembali sibuk dengan es batu dihadapannya. Cukup ampuh, karena setelah berkata demi kian. Meski dengan gelagat sungkan Leya kemudian meriah botol air mineral tersebut untuk ia minum. Di ikuti Gara dengan wajah datar khas miliknya.
"Wajahnya ngadep saya." Pinta Hema.
"Hah?"
Hema menghela nafas panjang. Lantas tanpa mengatakan apapun, dengan jemarinya ia bawa wajah Leya untuk sempurna menghadap ke arahnya.
Diperlakukan seperti itu Leya gugup bukan main. Apalagi ketika kedua manik matanya hanya berjarak beberapa centi meter saja dari wajah Hema yang setiap pahatannya begitu mengagumkan. Leya mendadak khawatir jika apa yang kini nampak dalam penglihatan matanya hanya delusinya semata.
Dengan perlahan Hema mengompres lebam disudut bibir Leya. "Perlu ke Dokter gak?" Tanya Hema. Melihat bagaimana tadi Leya diperlakukan. Takutnya luka pada Leya ternyata lebih dari apa yang terlihat. Hema sedikit memundurkan wajahnya guna balas menatap Leya yang seperti lupa cara untuk berkedip. "Leya?"
"Ya?"
Leya mengedipkan matanya linglung. Terlalu fokus menatap Hema, membuat Leya tidak begitu mendengarkan apa yang baru saja laki-laki itu katakan. "Maaf. Tadi kamu ngomong apa?"
"Lupakan." Sudah dibilangkan tadi bahwa Hema tidak suka kembali mengulang kalimatnya.
"Setelah ini, tujuan kalian mau kemana?"
"Tempat tinggal baru kami." Jawab Leya.
Hema mengangguk mengerti. "Ayo, saya antar."
"Nggak perlu. Kami bisa kesana sendiri." Tolak Gara. Membuat dua orang dewasa disana kontan menoleh kearahnya. Menatap Gara yang sudah bangkit dari duduknya dan bersiap untuk pergi. "Sebelumnya terimakasih atas bantuannya." Gara raih tas ransel yang semula ia taruh disisi kakinya. Matanya lalu beralih kepada Leya. "Ayo. Keburu larut." Gara segera mengambil langkah. Kakinya bergegas menghampiri Leya yang ikut berdiri dari duduknya. Disusul Hema kemudian.
Leya menatap Hema tidak enak melihat cara Gara memandang Hema membuat Leya meringis tidak nyaman. "Makasih sudah menolong kami." Mata Leya lalu beralih ke arah jajanan diatas meja. "Makasih untuk makanannya." dan kemudian menatap Hema yang diam memperhatikannya. "Makasih juga sudah mengobati lukaku." Pandangan Leya lantas berhenti pada Gara yang sudah tidak sabar untuk segera bergegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zaleya
Romance"Kamu juga merasakan betapa sakitnya merasa terbuang. Lalu sekarang apa bedanya ketika kamu bahkan ingin langsung melenyapkan keberadaannya. Siapa yang paling jahat? Dunia? atau kamu yang langsung menghakimi keberadaannya?" Kedua mata mereka bersita...