Sakit. Satu kata yang menggambarkan perasaan hati Anna dalam kehidupan sehari harinya. Walau sudah ia sibukkan dengan pekerjaan OSIS nya, ia tetap tak ketinggalan dengan berita kegemasan pasangan Eza dan Dara itu. Mau itu saat ia dikelas, maupun diruangan OSIS. Memang, apa yang spesial, sehingga berita ini menggemparkan seisi sekolah hingga saat ini? Ya, walau berita tentang hubungannya dengan Iqbal tak kalah gempar. Tapi ia tak peduli dengan berita tentangnya, berita tentang Eza dan Dara terus menyita perhatiannya.
"Gue suka lo yang sekarang."
Anna refleks mengumpat ketika mendengar perkataan dari Bella. "Maksud lo apa?"
"Maksud gue, lo yang kayak zaman dahulu. Lo yang menyibukkan diri dan fokus dengan hidup lo. Hidup yang gila masa depan, bukan gila cinta."
Bella menggantung kalimatnya, ia tersenyum tulus. "Jujur, gue sendiri nggak suka kalau lo deket sama Eza. Lo jadi gila cinta. Nilai lo nyaris anjlok. Inget nilai lo, pas ujian bahasa Jawa, kan?"
Anna hanya diam, antara setuju dan tidak setuju akan perkataan dari Bella. Tapi, perkataan Bella benar. Nilainya nyaris anjlok, karena gila akan cinta dari Eza.
"Tapi, gue setuju aja kalau lo sama Galang." Celetuk Bella memasang raut wajah jahil.
Anna mencebikkan bibirnya. "Masalahnya, kita cuma temen. Ya, semacam temen deket. Tapi, bukan sahabat."
Ditengah obrolan dua sahabat itu, seorang gadis yang merupakan teman mereka menghampiri. "Na! Dicariin adek kelas!"
"Siapa?"
"Naziva. Temuin sana, udah nungguin depan pintu." Suruh siswi itu.
Anna mengangguk singkat, lalu pergi untuk menemui adik kelas yang sudah sangat akrab dengannya. Samar samar, ia melihat helaian rambut dari salah seorang siswi yang berdiri didekat pintu kelas. Ia tepuk bahunya pelan, hingga siswi itu menoleh.
"Kakak!" Sapa siswi itu.
Anna tersenyum. "Gimana bimbingan buat lomba Olimpiade nya? Enjoy?"
"Nggak. Aku mau ngundurin diri aja." Jawab Naziva cuek.
"Heh, nggak boleh. Lo itu harus nerusin perjalanan gue. Jadi contoh buat adik adik kelas penerus kita nanti!"
Gadis itu tetap menggeleng. "Aku males."
Ingin sekali rasanya Anna memukul adik kelasnya itu keras keras. Tapi ia akhirnya hanya memukul pelan lengannya. Naziva, adik kelas yang terkenal paling dekat dengan Anna. Sekaligus calon penerusnya sebagai peserta Olimpiade.
Adik kelas yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri. Sering kali bertukar cerita dengannya. Entah itu penting atau tidak.
Belum sempat kembali membuka suara, bel berdentang menandakan waktu masuk kelas. Anna menepuk pelan bahu Naziva, guna memberi semangat lebih untuk gadis itu.
"Semangat. Saran gue, kalau nggak ada alasan jelas, jangan ngundurin diri. Lo bakalan menyesal kalau nggak ikut lombanya."
Anna tersenyum tipis. "Kalau lo enjoy aja sama lombanya, bakalan kerasa seru, kok! Jadi, dibawa santai aja. Jangan paksain diri, belajarnya jangan terlalu diforsir. Tetep ada waktu buat istirahat, bukan berarti untuk dibuat males malesan. Istirahat boleh, tapi belajar jangan lupa."
"Kalau terlalu keberatan, bisa ajuin permintaan. Bernegosiasi sama guru pembimbingnya. Misal, belajarnya diringankan. Gue tau betul cara belajar guru itu, karena gue mantan muridnya. Mungkin, nggak cocok sama cara belajar lo. Tapi, lama lama bakalan kebiasaan kok."
"Lo udah dikasih buku materi. Jangan lupa dipelajari dirumah juga. Jangan cuma belajar pas disekolah aja. Ya, walau dulu gue kayak gitu. Tapi, jangan ditiru. Cukup gue aja yang punya kebiasaan buruk. Lo jangan ikut ikut. Dirumah, waktu belajar dan istirahat dibagi. Jangan dibuat males malesan terus. Harus bisa bagi waktu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Yang Terbuang
FanfictionKetakutan akan penolakan cinta, tak berhasil menghasut gadis ini. Kepercayaan diri, dan sikap cueknya, berhasil membuat keluarganya tak mengkhawatirkannya. Tapi, akankah kisahnya berakhir bahagia seperti yang ia bayangkan? Terkadang, ketakutan datan...