[15•TB] BOCIL KEMATIAN

1.5K 85 6
                                    

Didapur Askara sibuk membuat kopi yang rencananya akan ia berikan kepada abinya. Setelah pertengkaran malam itu Askara belum meminta maaf karena tak menemukan waktu yang tepat. Dari sore ia sudah mengatakan kepada uminya agar tidak membuatkan kopi untuk Abinya saat malam nanti karena dialah yang akan membuatkannya. Mungkin dengan cara ini dia akan memiliki kesempatan bicara dan meminta maaf pada abinya.

Berulang kali Askara menuangkan kopi ke dalam gelas namun ia tuangkan kembali kedalam toples kopi karena ragu dengan takarannya.

"Sepertinya kopinya mau di tambah dikit lagi, ehh, tapi kayaknya udah pas, deh." Askara kebingungan sendiri, tangannya tak berhenti menggaruk kepalannya yang tak gatal.

"Kamu lagi ngapain?"

"Astagfirullah! Eh, Bang, ngagetin aja lo!" Askara terlonjak kaget.

"Kamu aja tuh yang serius amat, abang udah salam tapi kamunya gak jawab," tampik Arsaka.

"Hehe, sorry. Ini, nih, gue lagi buatin Abi kopi tapi lupa sama takarannya padahal umi udah ngasih tau." Aksara cengengesan.

"Ohh, kenapa gak sekalian minta bantuan Umi aja? Umi mana biasanya jam segini, kan, ada di ruang tengah," tanya Arsaka mengarahkan pandangnnya keseluruh ruangan. Wajar Arsaka tak tau, karena seharian dia ada dipesantren dan baru datang ke rumah.

Askara menghela nafas panjang. "Umi belum pulang, masih dirumah sakit. Pengen nelfon tapi takut umi lagi nanganin pasien," jawab Askara.

"Ohh, yaudah. Sini biar abang bantu," ujar Arsaka merangkul bahu Askara.

Askara melirik intens abangnya. "Emang lo tau?"

"Mmm, emang ada yang aku gak tau tentang Abi?"

"Emangede yengakugektau teutentengabi." Askara mengulang ucapan Arsaka dengan mulut dimaju-majukan.

Arsaka memutar bola matanya malas melihat tingkah adik lima menitnya itu. "Ini mau dibantuin gak?" tanya Arsaka sedikit kesal namun Askara hanya terkekeh sambil menganggukan kepala.

"Menyala abangku!" goda Askara yang melihat Arsaka menyalakan kompor untuk mendidihkan air.

"Bang, kalau berani celupin tangan abang kedalam air itu selama duapuluh menit, nanti aku kasih uang seratus ribu," tawar Askara sambil menaik turunkan alisnya, wajah tengiknya sangat terlihat dan menguji kesabaran.

"Seng penting awakmu seneng, lah," pasrah Arsaka langsung memasukkan tangannya kedalam air yang ia masak membuat kedua pupil mata Askara melebar sempurna, abangnya memang penurut tapi ia tidak tau jika abangnya bisa segoblok itu.

Tiga detik kemudian Arsaka menarik kembali tangannya dan langsung memasukkan telunjuknya itu kedalam salah satu lubang hidung Askara. "Tapi bo'ong!" seru Arsaka tertawa lebar.

"Abang!!" pekik Askara menepis cepat tangan Arsaka lalu membersihkan lubang hidungnya dengan tisu.

Arsaka tak berhenti tertawa dan kemudian disambut juga oleh tawa Askara yang tak kalah kuatnya.

"Kirain tadi beneran berani," ujar Askara di ujung tawanya.

"Abangmu ini masih waras, ya," tekan Arsaka.  "Ohh iyh, abang hampir lupa tadi mau tanya sesuatu," sambung Arsaka kembali ke mode serius.

Askara mengerutkan kening. "Mau tanya apa?"

"Tentang santriwati baru yang masuk di pondok," jawab Arsaka.

Askara membuka matanya lebar-lebar. "Abang tertarikya sama dia?!" tanya Askara excited.

"Sembarangan! Dia itu kayaknya kenal kamu soalnya pas abang lagi wudhu tiba-tiba dia datang ngunci leher Abang terus dia manggil abang pakai nama panggilanmu. Jujur jangan bohong dia temanmu, kan?" tanya Arsaka memicingkan matanya menatap gelagat Askara yang mencurigakan.

Twins BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang