[𝟑𝟐•𝐓𝐁] 𝐆𝐀𝐑𝐀𝐒𝐈

1.2K 66 13
                                    

Malam yang semakin larut. Di sebuah kamar yang sepi dan remang-remang, Askara terbaring di ranjangnya. Langit di luar gelap gulita, hanya disinari oleh sedikit cahaya bulan yang memantulkan bayangan samar di dinding kamar. Suara detak jam terdengar jelas, setiap detiknya terasa seperti gema yang semakin menambah kesunyian malam.

Meski tubuhnya lelah, namun matanya enggan terpejam. Hatinya gundah, pikirannya dipenuhi oleh beragam kegelisahan yang entah datang dari mana. Ia mencoba membalikkan badan, mencari posisi nyaman, tapi tetap saja rasa kantuk tak kunjung datang.

Askara bangkit dari tempat tidur, duduk di tepi ranjang dengan tangan memegangi kepala. Ia segera beranjak dari duduknya memilih berjalan menuju balkon kamar untuk mencari udara segar, berharap dapat menenangkan pikirannya yang sedang gelisah.

Ia melangkah pelan menuju balkon, membuka pintu kaca yang menghubungkan kamarnya dengan dunia luar. Angin malam yang sejuk segera menyambutnya, membelai lembut wajah tampannya yang berbalut kegelisahan. Di atas sana, langit malam terbentang luas, dihiasi oleh ribuan bintang yang berkelap-kelip seperti permata di atas beludru hitam.

Sejenak, Askara terpesona oleh keindahan langit malam. Ketenangan mulai merayap perlahan di hatinya. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Dari sudut matanya, Askara menangkap sebuah gerakan di bawah sana. Ia menoleh dan melihat abinya, sosok yang sangat dikenalnya, tengah keluar dari rumah. Gerak-geriknya terlihat aneh, penuh kehati-hatian, seolah-olah ia tak ingin siapapun menyadari keberadaannya.

Rasa penasaran segera menguasai Askara. Ia memicingkan mata, berusaha mengamati lebih jelas dari ketinggian balkon itu. Abinya tampak berjalan dengan langkah cepat menuju garasi, memeriksa sekeliling dengan waspada, seperti menyembunyikan sesuatu yang penting.

Seketika, Askara melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan lewat jam 2 pagi-waktu yang tidak biasa bagi siapapun di rumah untuk beraktivitas.

"Abi ngapain keluar jam segini?" gumam Askara. Nalurinya yang kuat memerintahkannya untuk bertindak.

Tanpa membuang waktu, Askara segera berbalik dan berjalan cepat menuju pintu. Dengan hati-hati, ia turun tangga, berusaha tidak menimbulkan suara yang bisa menarik perhatian. Apa yang sedang dilakukan abinya pada jam segini? Askara sangat penasaran.

Saat sampai digarasi Askara berhenti. Ia mengerutkan kening melihat abinya berdiri mematung membelakanginya didepan bagasi mobil uminya yang terbuka.

Dengan langkah hati-hati, Askara mendekat perlahan.

"Abi...," panggil Askara pelan, sembari menepuk pundak abinya dengan lembut.

Abinya terkejut, tubuhnya tersentak seolah baru saja terbangun dari lamunan yang dalam. Ia berbalik cepat, dan di saat yang bersamaan, kotak yang dipegangnya terlepas dari genggaman. Kotak itu jatuh ke lantai mengeluarkan isi yang ada di dalamnya.

Sebuah benda jatuh tepat di kakinya, dan saat ia menunduk untuk melihat lebih jelas, jantungnya serasa berhenti berdetak. Benda itu adalah sebuah boneka tanpa kepala, berlumuran darah. Darahnya kental, merah pekat, membasahi hampir seluruh tubuh boneka itu. Bau amis darah yang menyengat tiba-tiba tercium, menusuk hidung Askara dan membuat perutnya mual.

Pikiran Askara kacau balau, berputar tanpa henti mencoba mencari penjelasan.

"Abi... ini apa?" suara Askara terdengar serak, hampir seperti bisikan. Pertanyaan itu keluar dengan penuh kebingungan, diiringi oleh tatapan yang penuh dengan tanda tanya.

"Cepat pergi kekamarmu sekarang, abi harus membereskan ini dulu setelah itu abi akan menyusulmu untuk menjelaskan situasi ini," ujar Ariez seraya bergerak cepat merogoh sapu tangannya untuk memasukkan kembali boneka misterius itu kedalam kotak.

Twins BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang