Kedua duanya berhenti berbicara di saat tempo dan waktu mereka dalam berbicara itu sama. Kedua orang itu saling melirik. Meva memberi kode Loka untuk bersuara duluan. Laki laki itu mengangguk memahami.
"Bukan hal yang penting, tapi jika kamu ingin pulang silahkan, saya tidak apa apa di tinggal sendiri di sini."
Itu adalah sebuah pernyataan pengusiran secara tidak langsung. Tentu, anak remaja seperti Meva tidak akan mengerti. Lain halnya jika ia mengajukan itu kepada Hazel ataupun Gela. Kepala Meva menggeleng mengatakan jika itu bukan masalah besar dan pernyataan secara tidak langsung kalau ia akan tetap berada di sini.
"Lalu? Kamu?"
"Aku tidak peduli, kau Lova-ku atau bukan. Walau jiwamu seorang pria tua, Raga yang kau tempati adalah raga adikku. Aku tidak ingin kalau kau sampai kabur atau melakukan tindakan kriminal dengan tubuh itu."
Remaja itu menggigit bibir bawahnya, melihat tindakan Meva loka yakin bukan itu sebenarnya yang ingin di katakan remaja di hadapannya.
"Saya CEO Bukan anggota mafia, ataupun seorang pembunuh bayaran." Jelas Loka. Yah, walaupun memang bukan itu perkataan yang ingin di lontarkan oleh Meva, perkataan itu seperti mengatakan jika dulunya dia adalah orang jahat. Siapa yang tidak sakit Hatim
"Tidak usah bertele tele, katakan sebenarnya perkataan apa yang berada di hatimu."
Meva tersentak. Apakah pemikirannya terbaca? Tanpa sadar meva menunduk sambil memainkan jari jarinya. Kepala remaja itu sedikit bergoyang ke kanan ke kiri dan itu di lihat oleh Loka sendiri. Bukankah lucu? Bahkan anaknya tidak pernah melakukan tindakan ini.
"Bersikap seperti biasa, panggil aku Abang, dan aku akan memanggilmu adik. Walau umur aslimu lebih tua bahkan melebihi papaku." Tutur Meva. Nadanya terdengar lirih.
Wajah serius Loka langsung berubah menjadi ekspresi tak terbaca. Jadi? hanya itu?
"Pfft—"
Remaja yang semulanya menunduk menegakkan pandangan melihat raga adiknya yang di isi oleh jiwa pria tua menutup mulutnya dengan pundak bergetar.
"CK, aku serius!" Meva memandang sengit.
Baiklah, sepertinya remaja di hadapannya ini mulai kesal. Tapi ini bukan salah loka hingga ingin menyemburkan tawanya.
Lagian perkataan Meva terlalu sederhana. Ia sangka perkataan yang terlontar seperti perkataan berbelit, atau mengancam untuk mengembalikan adiknya. Siapa sangka hanya sebuah perkataan yang bisa di bilang permohonan.
"Maafkan saya, hanya itu?—" Meva mengangguk. Senyum terbit di belah bibir Lova.
"Boleh, anggap saya sebagai adik anda. Tapi mohon jangan lakukan kegiatan fisik, oke? Kegiatan seperti mengecup, saya tidak nyaman."
Meva terdiam, remaja itu bahkan tidak bersuara banyak ketika tangan milik adiknya itu menyentuh rambutnya, mengusap dengan acak sampai rambut yang awalnya tersusun rapi kini berantakan.
"Kau tidak keberatan?" Tanya Meva ragu. Namun melihat gelengan kepala dari Loka membuat senyum tipis meva terlukis.
Suasana kembali hening. Enggan dari salah satu dari mereka untuk mengeluarkan suara. Hanya canggung yang di rasakan Meva. Ia melirik diam diam Loka yang masih asik melihat pemandangan luar dari jendela rumah sakit.
"Dari awal— aku sudah sadar, tatapan yang di berikan kamu berbeda, itu bukan tatapan yang biasanya adikku berikan."
Loka menoleh melihat Meva. Kepala remaja itu tidak lagi menunduk ketika berbicara, alih alih menunduk, kepala itu malah Tegak, menatap dirinya lurus.

KAMU SEDANG MEMBACA
/Loka, Transmigrasi?\
Ficção AdolescenteBUKAN BL 🚫 BUKAN BL ↑ BUKAN BL ↑ BUKAAANNNNNN!!!!!!!!! "brengsek!" desis Loka. tubuhnya yang berada di ranjang rumah sakit juga adanya infus di tangan kanannya membuatnya sakit kepala memikirkan nasibnya. Loka Glaniard Vuble, pria duda dengan iden...