Kaki jenjang yang dibalut sepatu pantofel itu berjalan menuju meja makan, ia langsung mendaratkan tubuh tegapnya di kepala meja.
Ia menyadari ada yang hilang di sana, namun Kaivan memilih diam.
Kepala maid langsung menyiapkan sarapan untuk tuannya.
Kaivan mulai menyuapkan menu di piringnya, ia menikmati sarapan itu dengan tenang dan—sendirian.
Setelah sarapan dan kopinya habis, pria bermarga Mackenzie itu langsung beranjak pergi ke kantor.
Semua proyek yang ditawarkan perusahaan lain Kaivan terima, semua waktu dan pikirannya ia gunakan untuk pekerjaannya.
Ia memang maniac bekerja dan setelah menikah hal itu menjadi berlipat ganda.
Kaivan tidak mengambil cuti sama sekali, ia mencurahkan semua waktunya untuk proyek di perusahaan agar semua rekan kerjanya puas.
Perusahaan yang ia pimpinan merupakan perusahaan Kaivan sendiri, pria itu bekerja keras sejak masih kuliah agar tidak bekerja di perusahaan keluarganya.
Dan terbukti sekarang bahwa Kaivan bisa mendirikan bisnisnya sendiri tanpa bantuan ayahnya.
Hal itu yang membuat Kaivan begitu mencintai pekerjaannya, ia akan terus bekerja keras agar perusahaannya semakin maju.
"Aku tahu kau ingin mendirikan beberapa cabang perusahaan lagi, tapi jangan gila kerja seperti ini. Luangkan waktu untuk pergi berdua dengan istrimu." Nasihat pria tua di depan Kaivan.
Pria yang dinasihati masih fokus pada berkas di depannya. "Kapan proyek ini dimulai?" Tanyanya.
Jay berdecak pelan. "Papa sedang tidak ingin membicarakan itu, taruh berkasnya!"
Kaivan menghela napas pelan, menutup berkas di tangannya lalu meminum teh yang tersaji.
"Kalian belum pergi bulan madu, pergilah Kai, Rann pasti bisa mengurus pekerjaanmu." Jay diingatkan dengan ucapan sang istri bahwa anak dan menantunya belum pergi bulan madu sejak awal menikah.
Kaivan terdiam mendengarnya, beberapa saat kemudian ia kembali meminum tehnya. "Setelah proyek dengan perusahaan papa dan kakak selesai, aku akan cuti dan mengajak Shyatra pergi." Ucapnya setelah beberapa saat.
Jay mengangguk setuju. "Kalian dijodohkan jadi harus memiliki banyak waktu bersama agar saling terbiasa." Jay mencondongkan wajahnya ke depan. "Kalian sudah sangat dekat, kan?" Tanyanya dengan serius.
Kaivan menatap datar sang ayah lalu menyandarkan punggungnya. "Kami baik-baik saja."
Jay berdecak pelan. "Jawabanmu tidak sesuai dengan pertanyaan papa." Ucapnya kesal.
"Lalu apa yang papa harapkan?" Dengus Kaivan.
"Maksud papa apa kalian sudah dekat meski belum saling memiliki rasa?" Jay mungkin menikah bukan karena perjodohan, namun sedikit banyaknya ia tahu bahwa berusaha mencintai setelah menikah memang tidaklah mudah.