Prologue

20 3 0
                                    

Tanjoeng Priok Batavia, Hinda-Belanda

Di tengah kegemuruh ombak yang menari-nari dan angin yang membelai pantai Jawa, seorang gadis berambut pirang duduk dengan anggun di atas tumpukan kotak kayu yang tergeletak di geladak pelabuhan. Imelda Van der Meer, demikianlah namanya, menyaksikan melamun pemandangan pantai yang indah. Matahari yang memancarkan kehangatan senja memberikan warna-warna oranye pada langit, tetapi dalam hati Imelda, pemandangan di daratan meresap begitu dalam.

Namun, lamunan Imelda terputus ketika sebuah suara lembut memecah keheningan. Seorang pemuda lokal dengan tatapan rendah hati berdiri di belakangnya, "Saya mohon maaf, Nona," ucapnya menggunakan bahasa Belanda dengan penuh sopan dan kehormatan, memotong lamunan Imelda seakan menyadarkannya dari dunia imajinasi.

Imelda berbalik, serentak dengan tatapan kepada pemuda di belakangnya, "Ah iya, silahkan. Maafkan aku." Balasnya sembari meninggalkan tempat duduknya di atas kotak kayu itu.

Pemuda itu dengan gesit mengangkat kotak tersebut menuju ke dalam, kapal cargo yang mengibarkan bendera Inggris. Kapal itu terlihat megah ditengah-tengah pelabuhan dengan tulisan putih di lambung bawah haluannya "Salviking", bersiap untuk berlayar ke Penang Malaya dan melintasi Samudera Hindia hingga tujuan akhirnya di Inggris. 

"Mungkin sudah waktunya untuk kembali pulang." Gumam Imelda. Ia melangkah perlahan menyusuri tepian pelabuhan. Melupakan sejenak lamunan yang tadi, langkahnya berpindah menuju perjalanan pulang.

Di tengah perjalanan pulang—jalan setapak yang dilalui Imelda menyusur pinggiran kota Batavia yang padat. Di antara gerimis yang perlahan menetes, Imelda merasa kesegaran embun memberikan nuansa baru pada langit malam. 

Dua bayangan kecil yang berpenampilan lusuh melintas di depannya. Penampilan mereka mencerminkan kehidupan yang sulit, kedua anak pribumi itu menghampiri Imelda dengan langkah-langkah kakinya secara perlahan.

"Selamat sore Nona." Sapa salah satu dari mereka menggunakan Bahasa Belanda dengan logat yang belum sempurna. Membuat Imelda menghentikan langkahnya. 

Imelda memberikan senyuman ramah, tergugah oleh kehangatan salam dari anak kecil itu. Dengan penuh kelembutan, dia membungkuk untuk mengusap rambut anak itu, yang tampak begitu lusuh. "Selamat sore, siapa namamu?" tanya Imelda dengan penuh kebaikan menggunakan Bahasa Indonesia dengan pelafalan yang buruk.

Anak kecil itu memberikan Imelda senyuman hangat, mata kecilnya bersinar penuh keceriaan. "Namaku Soetrisno, dan ini adikku, Soejatno," jawabnya dengan bangga, menunjuk ke arah adiknya yang menggenggam tangannya dengan erat.

Imelda merasa hangat di dalam hatinya melihat kedekatan mereka. "Senang bertemu dengan kalian, Soetrisno dan Soejatno. Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" tanya Imelda, mencoba membuka percakapan dengan penuh kebaikan.

Soetrisno menjawab dengan nada ceria, "Kami sedang pulang dari pasar, Nona. Ibu kami berpesan untuk membeli sebuah bahan masak untuk makan malam kami." Jawab Soetrisno sambil menunjukan sebuah katung yang berisi beras dan garam. Namun, Imelda pun meperhatikan dengan seksama beras itu. Jumlah beras itu sangat sedikit, membayangkan beras sesedikit itu pasti tidak cukup untuk Soetrisno dan keluarganya.

Imelda merasa kepedulian tumbuh di dalam hatinya. Dengan lembut, ia menatap Soetrisno dan Soejatno. Bocah kecil berumur 9 tahun itu lantas hanya tersenyum, berusaha menyembunyikan ketidaknyamanannya. "Kami biasa, Nona. Ibu selalu mengajarkan kami untuk bersyukur dengan apa yang kita miliki."

Namun, mata kecil Soejatno yang polos dan kelaparan melintas di wajahnya tidak bisa disembunyikan. 

"Kau mau permen?" Tanya Imelda kepada mereka berdua. Soetrisno dan adiknya mengangguk pelan. Imelda kemudian menggandeng tangan kedua anak itu, menuntun mereka pada halaman rumahnya yang megah di pinggiran kota Batavia.

Serenade of ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang