Rotterdam, Belanda, dua tahun kemudian.
Imelda tiba di pelabuhan Rotterdam dengan perasaan campuran di dalam hatinya. Udara dingin dan angin laut yang menyapu wajahnya memberinya sensasi familiar, tetapi setelah dua tahun perang dan penderitaan, kota yang dulu ia panggil rumah terlihat berbeda.
"Selamat datang di Rotterdam." Sapa seorang awak kapal yang ia tumpangi berdiri di sebelah tangga dermaga, memberi sambutan kepada para penumpang yang telah beranjak turun dari kapal.
Langkahnya melangkah di atas trotoar yang penuh dengan reruntuhan bekas-bekas perang. Bangunan yang hancur dan jalan-jalan yang rusak menambahkan kesan kehancuran dan kekosongan di sekitar kota. Meskipun begitu, di antara puing-puing itu, Imelda bisa melihat tanda-tanda perbaikan dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Dengan langkah nya, Imelda melanjutkan perjalanannya melalui jalan-jalan yang dulu akrab baginya, menuju rumah keluarganya yang terletak di pinggiran kota. Setiap langkahnya diiringi oleh ingatan dan kenangan masa lalu yang membuatnya merasa hangat meskipun di tengah dinginnya situasi.
Ketika ia tiba di depan pintu rumahnya, hatinya berdebar-debar. Dia meraih gagang pintu dan memasukkannya dengan perasaan campuran kekhawatiran dan harapan. Suara langkah kakinya menggema di lorong rumah yang sunyi, menciptakan suasana yang hampir mistis di dalam rumah yang kosong.
Imelda berjalan menuju ruang tamu dan duduk di sofa yang sudah agak usang. Dia memandang sekeliling, merasakan keheningan yang menggema di sekitarnya. Tetapi di dalam keheningan itu, dia juga merasakan semacam kedamaian dan ketenangan yang lama dinanti-nantikan. Sebuah keajaiban rumah keluarganya yang berada di tengah kota itu masih berdiri kokoh. Hanya saja, seluruh kaca dirumah itu pecah dan beberapa bagian atapnya yang melubangi beberapa cahaya disitu.
Dia merenung sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan damai yang mengalir di dalam dirinya. Meskipun perjalanan pulang tidak mudah, dia merasa lega karena kembali ke tempat yang disebutnya rumah, ke tempat di mana dia bisa menemukan ketenangan dan kenyamanan di tengah-tengah masa lalunya yang suram. Imelda pun segera membersihkan rumahnya dari debu.
Ia pun membuka isi kopernya, satu persatu lengannya mengeluarkan seluruh pakaian dari dalam koper itu, lalu ia masukan ke dalam lemari. "Sudah semua." Gumamnya sambil menghela nafas lelah. Ia pun menutup kembali kopernya, namun sebuah lekukan pada bagian depan koper itu menghentikan tangannya.
Jarinya menggenggam kancing depan koper itu dan membukanya. Sebuah topi perwira angkatan laut Jerman dan sehelai kain elang yang mencengkram swastika ia keluarkan dari dalam situ.
Sejenak ia menatapi kedua benda yang ada di tangannya. Mengingatkan akan sosok pria yang telah menyelamatkan nyawanya tiga kali. Imelda yang selalu menangisi sosok selama satu tahun kemarin pun sepertinya kini sudah kehabisan airmata. Ia membawa kedua benda itu lalu duduk di sofa ruang tamunya. Dengan helaan nafas panjang, ia menatap orang-orang yang berjalan di trotoar depan rumahnya dari jendela.
"Sudahlah, ia sudah tidak ada. Untuk apa aku mencari sosok bayangan?" Ucapnya pada diri sendiri.
Namun, itulah Imelda. Wanita yang memiliki perasaan yang lebih besar dari pemikirannya. Ia lalu bangkit berdiri dan berjalan keluar rumahnya, melangkahkan kakinya ke kedutaan Jerman Barat dan Timur di kota itu. Dalam perjalanannya, ia melihat banyak wajah-wajah orang asing dengan seragam tentara dari segala belahan dunia hadir di sana. Wajah mereka sangat bahagia karena telah mengalahkan Jerman enam bulan yang lalu. Menerka kemenangan mereka dan menjadikan mereka sebagai salah satu alat ukir sejarah dunia. Dengan riang orang-orang asing itu bersorak sorai memeriahkan jalanan Rotterdam.
Setibanya disana, ia segera menghampiri petugas resepsionis yang sedang berjaga.
Imelda menghampiri petugas resepsionis dengan langkah mantap, hatinya dipenuhi oleh tekad yang bulat. Dia memberikan senyuman ramah kepada petugas tersebut sebelum berbicara.
"Saya ingin meminta informasi tentang kapal selam Jerman 168 yang pernah beroperasi di perairan sekitar Hindia-Belanda, terutama yang terlibat dalam pertempuran di Laut Jawa," Ucap Imelda dengan suara yang tenang dan tegas.
Petugas resepsionis mengangguk mengerti, mencatat permintaan Imelda dengan cermat sebelum memberikan jawaban. "Tentu, saya akan mencoba membantu Anda dengan informasi yang tersedia. Silakan tunggu sebentar."
Imelda menunggu dengan sabar, hatinya dipenuhi oleh rasa penasaran dan keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang nasib kapal selam Jerman 168, terutama terhadap sosok Erich, yang begitu berarti baginya. Waktu terasa berjalan lambat, tetapi dia tetap tenang dan sabar menunggu.
"Ini adalah daftar kapal selam Jerman yang anda cari. Semoga ini membantu Anda," ujar petugas tersebut sambil memberikan Imelda salinan dari berkas itu.
Imelda mengucapkan terima kasih kepada petugas resepsionis sebelum pergi meninggalkan kedutaan. Dia duduk di bangku di depan kedutaan, menatap daftar kapal selam dengan hati yang berdegup kencang.
"U-168, Armada kapal selam ke-33, pemimpin kapal Kptlt. z. S. Hemlut Pich" Ucapnya sambil membaca tulisan pertama yang ada di lembaran kertas itu. Lalu membaca tulisan-tulisan lain di bawahnya,
"Tenggelam pada pukul 01.30 tanggal 6 Oktober 1944 di Laut Jawa barat laut Soerabaja, pada posisi 06.20S, 111.28E, oleh torpedo kapal selam Belanda HrMs Zwaardvis. 28 tewas, 26 selamat, 1 hilang." Bacanya dengan pelan.
Dengan jari gemetar, dia mencari nama Erich di antara daftar nama awak tersebut, berharap menemukan jawaban atas pertanyaan yang menghantuinya selama ini.
"Daftar awak kapal yang tewas." Bacanya setiap nama yang dia baca membuatnya semakin gelisah, semakin tegang, semakin penuh kekhawatiran.
"Ogfr. z. S. Joachim Bauer." Bacanya dalam membaca nama orang pertama yang ia kenal di daftar awak kapal yang tewas.
Jarinya masih meneliti nama-nama disana dengan teliti. "Gfr. z. S. Gerhard Enno Ackermann." Melihat nama rekan-rekan dekat Erich yang tidak selamat membuatnya patah semangat untuk meneruskan mencari. Namun ia tetap memaksakan matanya untuk mencari lebih lanjut.
"Gfr. z. S. Hans Bartel, Oh tidak, Hans.." Bisiknya sekilas memberikan kenangan saat mereka semua tengah duduk di sekitar tungku ruang tamu rumah Imelda di Batavia.
Setelah daftar awak yang selamat, Ia pun beralih ke daftar awak yang selamat, "Kptlt. z. S. Hemlut Pich, aku yakin ini pemimpin kapal mereka." Ucapnya kemudian meraba kertas itu kembali mencari sebuah nama. Jatungnya berdetak cepat membaca nama-nama itu. Namun nama Erich tidak kunjung terlihat. Diujung barisan nama itu, "Schtz. z. S. Albert Schröder" Ucapnya.
Jatungnya berhenti sejenak ketika ia melihat nama Erich pada daftar awak kapal selam yang hilang. "Oblt. z. S. (d.R) Erich Jacob." Bacanya sambil meneteskan airmata. Ia pun sangat terpukul melihat nama Erich di daftar awak yang hilang. Namun, semangatnya untuk mencari tau keberadaan Erich tidak padam sampai disini.
***Cerita akan berlanjut***
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade of Shadows
Historical FictionErich Jacob, seorang awak kapal selam angkatan laut Jerman pada perang dunia kedua. Unitnya ditugaskan untuk melintasi Hinda hingga ke Hinda-Belanda untuk membantu sekutunya, Jepang dalam menaklukan asia. Dalam perjalanan tempurnya, ia bertemu denga...