Bab 3

5 0 0
                                    

Sore itu, matahari berada pada titik terbenamnya, memancarkan cahaya keemasan yang melintasi cakrawala dan menciptakan warna-warna hangat di langit Batavia. Laut di sekitar Tanjoeng Priok padat dengan kapal-kapal Jepang yang berlalu-lalang datang dan pergi menunjukan sibuknya pelabuhan penting itu. 

Melihat Kapal perang raksasa di sekitar lautan itu membuat Erich dan teman-temannya takjub. Dengan bendera merah matahari terbit berkibar anggun di atas anjungannya, menandakan dominasi militer yang menguasai Asia. Sorotan merah senja yang memantul di permukaan laut seakan akan menyapa selamat datang di Jawa bagi para Pelaut Jerman.

Peluit diatas dek anjungan ditiupkan saat mereka mulai mendekati pelabuhan diikuti dengan keluarnya kapitänleutnant mereka dari dalam kapal selam. "Bersiap untuk berlabuh!" Ucap Pich dengan penuh antusias.

"Kapitänleutnant." Sapa Erich ketika Pich berdiri disampingnya, ikut melihati keindahan sebuah kota kolonial Batavia dengan gemerlap lampu-lampu ditengah redupnya langit senja. 

"Oberleutnant" Balas Pich terhadap sapaan Erich, "Akhirnya kita menginjak daratan setelah 3 bulan berlayar." Ujar Pich yang memejamkan mata merasakan semburan angin laut yang sejuk di wajahnya.

Tiba di pelabuhan, kapal selam berlogo burung garuda mencengkram swastika itu disambut oleh gemuruh cekikan berat tali-tali kapal. Pertemuan dua dunia, dua kekuatan besar negara poros terasa dalam getaran di udara. Kapal selam Jerman yang baru tiba itu menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar pelabuhan.

Hentakan sepatu Pelaut Jerman saat turun dari kapal selam terdengar jelas di atas dermaga, satu persatu mereka keluar dari sarang besinya diikuti dengan puluhan tawanan Pelaut Inggris. Mereka menyuruh tawanannya itu untuk menurunkan beberapa bahan pokok dari dalam kapalnya.

Segerombolan pemuda lokal yang takjub berkumpul, menyaksikan dengan mata terbelalak kapal selam besar yang terdampar di samping dermaga. Mereka, dengan rasa penasaran dan keingintahuan, mencoba mendekati. Beberapa bahkan berusaha berkomunikasi dengan mereka, meskipun bahasa dan perbedaan budaya menjadi hambatan. 

Konsentrasi Erich yang sedang memperhatikan tawanannya menurunkan beberapa kotak persediaan terputus oleh gumaman takjub anak kecil di belakangnya. Seorang bocah berjalan mendekati Erich dengan langkah kaki kecilnya yang malu-malu dan tatapan matanya yang tidak bisa berpaling dari keindahan megah karya insiyur Jerman itu. 

Erich tersenyum melihat kegemasannya. Ia membungkuk sedikit dan menyapa anak itu dengan penuh keramahan, "Siapa namamu nak?" Tanya Erich. 

Namun anak itu hanya tersenyum tidak mengerti apa yang Erich katakan, membuatnya menggaruk alis dan menghela nafas. Ia baru ingat, mereka jajahan Belanda, mungkin menggunakan bahasa Belanda yang telah ia pelajari dahulu saat dirinya masih menjadi seorang prajurit infantri bisa membuat anak kecil itu mengerti mengerti. Erich mengulangi pertanyaan yang sama menggunakan Bahasa Belanda. Dalam tatapan Erich anak sekecil itu pasti belum bisa berbahasa Belanda.

Raut anak itu yang dipenuhi rasa ingin tahu, membalas sapaan Erich dengan senyuman kecil. "Namaku Soetrisno, pak pelaut." Jawab anak itu dengan riang membuat Erich terkejut lantas anak kecil di depannya sudah fasih berbahasa Belanda.

"Pak pelaut." Ucap Soetrisno lagi memanggil Erich mencari perhatian.

"Kenapa nak?" Balas Erich sambil mengusap-usap rambut anak itu.

Telunjuk mungilnya menunjuk kepada kapal selam di belakang Erich, "Apa itu pak pelaut?" Tanyanya kepada Erich.

"Itu adalah, umm... sebuah kapal selam." Jawab Erich singkat tersenyum, tangannya bergerak menjerengkan seragamnya yang ia sandarkan pada lengannya dan merogoh-rogoh katung bagian dalamnya.

Serenade of ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang