Leverkusen, Jerman, enam tahun yang lalu.
"Tidak!" Bentakan keras seorang ayah yang bernama Cristoph Berengar Jacob kepada anaknya, Erich Jacob yang duduk makan malam bersamanya.
Tangan Cristoph meremat-remat kertas yang baru saja diberikan oleh Erich dengan penuh emosi. Ia menatap tajam mata Erich yang saat itu sedang duduk tegang di samping istrinya. Keheningan di ruang makan itu dipecahkan kembali dengan dentuman keras tangan Cristoph yang terbentur, menggertakan makanan yang ada di atasnya.
"Kau tidak boleh ikut berperang!" Ucapnya setelah kepalan tangannya membentur meja itu.
Erich yang ada di situ menekuk dahinya, membuat raut wajah yang sulut ikut emosi. "Aku harus ikut berperang!" Teriaknya melawan sang ayah.
Ibu Erich, Katarina Jacob, mencoba menenangkan suasana. "Hentikan kalian berdua, mari kita bicarakan dengan tenang. Mungkin ada solusi lain."
"Tidak ada solusi lain, Katarina!" seru Cristoph. "Aku tidak akan mengizinkan anak itu menjadi bagian dari kehancuran dan kematian. Aku tahu perang, dan aku hampir mati di parit-parit Perancis!" Bentaknya dengan penuh kekesalan.
Namun, Erich tetap teguh pada keputusannya. "Aku tidak bisa hanya duduk diam sementara teman-temanku yang lain berjuang. Aku harus melakukan sesuatu." Bentaknya kembali kepada sang ayah.
Cristoph yang pernah melalui peperangan pada tahun 1915 itu menatap tajam Erich yang melawan setiap perkataannya. "Pergilah dan jangan pernah kembali!" Teriaknya dengan sangat kencang.
Erich pun pergi ke kamarnya untuk mengemasi baju dan seragam barunya. Ibu Erich menatapi nasib anaknya itu dari pintu kamarnya dan menangis. "Erich." Panggilan sang ibu dengan pilu yang dipenuhi oleh air mata.
Erich menoleh ke arah ibunya, dan ekspresi tangis di matanya mencerminkan rasa berat hati. "Ibu, aku harus melakukan ini. Aku tidak bisa berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi di luar sana."
Katarina meraih tangan Erich dengan penuh kepedihan. "Tapi apakah ini satu-satunya cara, Erich? Bisakah kau tidak ikut serta dalam pertempuran?"
Erich menggelengkan kepala dengan mantap. "Tidak, Ibu. Aku harus berdiri bersama teman-temanku. Aku harus berbuat sesuatu untuk menjaga apa yang kita cintai."
Meskipun berat hati, Katarina membiarkan Erich pergi. "Jaga dirimu, Nak. Kembalilah dengan selamat."
Erich hanya mengangguk sebagai jawabannya, tanpa dapat mengucapkan kata-kata lagi. Ia meninggalkan rumahnya dengan langkah-langkah yang berat tanpa sepatah ucapan selamat tinggal kepada sang ayah, meninggalkan kisah keluarga Jacob yang penuh dengan kepedihan dan perpisahan.
***
"Tidak, ayah." Gumam Erich yang tertidur di samping Imelda. Di balik kelopak matanya yang terpejam, bola mata Erich bergerak ke kanan ke kiri dengan cepat bersamaan dengan nafas tidurnya yang tergesa-gesa, membuat Imelda terbangun pada pagi itu.
"Erich?" Ucap Imelda dengan lembut membangunkan Erich dari tengah-tengah mimpi buruknya. Erich tersadar dan membuka kelopak matanya. Pandangan pertama pagi itu, paras cantik Imelda yang sedang berbaring menatapi wajah Erich di sebelahnya.
"Kau melindur Erich." Ucap Imelda yang kemudian memeluk badan Pelaut Jerman itu di kasur.
Erich meresapi kenyataan bahwa dia telah terlelap dalam mimpi buruknya. Ia menyentuh wajah Imelda dengan lembut, mencoba meredakan getaran yang masih tersisa dari pengalaman masa lalunya. "Maafkan aku," Ucap Erich sambil berdiri dari kasur dan mengenakan pakaiannya.
Di bawah sinar matahari yang hangat, keduanya menghirup aroma segar daging asap dan turun tangga meninggalkan kamar Imelda.
"Pagi Oberleutnant." Sapa Albert yang sedang duduk berbincang dengan Anna dan Liesbeth di ruang tamu saat melihat Erich turun dari tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade of Shadows
Historical FictionErich Jacob, seorang awak kapal selam angkatan laut Jerman pada perang dunia kedua. Unitnya ditugaskan untuk melintasi Hinda hingga ke Hinda-Belanda untuk membantu sekutunya, Jepang dalam menaklukan asia. Dalam perjalanan tempurnya, ia bertemu denga...