Bab 11

3 0 0
                                    

Di ruangan cargo yang gelap dan sempit, Imelda duduk bersama teman-temannya di antara ratusan pengungsi lainnya. Udara di dalam ruangan terasa pengap dan penuh ketegangan. Mereka merapatkan diri untuk merasakan sedikit hangat yang dihasilkan oleh tubuh mereka satu sama lain.

Lampu gantung di ruangan itu mulai mengayun-ayun kesegala arah saat kapal yang mereka tumpangi terombang-ambing diterpa ombak laut. Beberapa dari pengungsi disana muntah akibat guncangan-guncangan itu. Sebagian anak kecil memeluk erat ibu mereka, mencari perlindungan dalam pelukan hangat di tengah kegelapan. Beberapa pengungsi lainnya berusaha mengatasi rasa mual mereka dengan menutup mata dan berfokus pada napas mereka.

Imelda pun keluar dari ruangan itu, mencari sedikit ketenangan di tengah kegelapan, menyandarkan tubuhnya pada pagar geladak sambil menatap pulau Jawa di kejauhan. Bayangan pegunungan dan pantai terlihat samar di cakrawala, memberinya kilas balik kenangan-kenangan indah bersama keluarganya yang terpatri begitu dalam di dalam benaknya.

Namun, kilauan cahaya bulan itu terputus saat Jan de Coen tiba di belakangnya, menyapa gadis Belanda itu sambil tersenyum, "Selamat malam Nona Van der Meer." Sapa Coen. 

Imelda menoleh kebelakang melihat Coen yang sedang tersenyum manis di belakangnya,"Malam tuan de Coen." Balas Imelda kepada perwira angkatan laut Belanda itu sambil tersenyum. 

"Wajahmu mengingatkanku pada sosok ayahmu," ucap Coen sambil ikut bersandar di pagar geladak, menghadap ke arah pulau Jawa yang terlihat samar di kejauhan.

Imelda menanggapi komentar Jan de Coen dengan senyum tipis. Meskipun hatinya terasa berat mendengar kata-kata itu, dia berusaha mempertahankan kedamaian di wajahnya. "Terima kasih, Tuan de Coen," kata Imelda, mencoba menyembunyikan gelora rindu kepada ayahnya di balik kerapian kata-kata.

Coen melihat ke arah samudra yang gelap, tatapan matanya penuh dengan refleksi yang dalam. "Kita semua membawa kenangan yang berharga di dalam hati kita, terutama di saat-saat sulit seperti ini," ujarnya dengan suara yang rendah namun penuh makna.

Mereka berdua pun terdiam sejenak dibawah terpaan angin malam. "Dulu, aku sering berlayar dengan ayahmu saat kami masih di akademi perwira angkatan laut." Katanya.

"Saat itu, ayahmu memberiku banyak pelajaran tentang keberanian, ketabahan, dan pengabdian kepada tugas kami sebagai pelindung laut. Dia seorang mentor yang baik bagiku, dan saya selalu berterima kasih atas pengalaman yang berharga bersamanya," lanjut Coen, tatapannya kembali terarah ke cakrawala yang luas di depan mereka.

Imelda tersenyum mendengar cerita tentang ayahnya dari sudut pandang Jan de Coen. Meskipun dia sudah kehilangan sang ayah, namun saat mendengar kenangan tentangnya dari orang lain membawa kehangatan tersendiri di hatinya. Itu membuatnya merasa bahwa sepotong dari ayahnya masih hidup dalam kenangan orang-orang yang pernah mengenalnya.

"Ayahmu adalah seorang pelaut yang baik, Aku tidak akan menemukan yang lebih baik darinya." Ucap Coen merasakan kehadiran teman baiknya di antara gemerlap bintang-bintang, mengingatkan mereka akan kenangan indah yang akan selalu terpatri dalam hati.

Suasana itu terpecah ketika salah seorang Pelaut Inggris memanggil Coen dari anjungan. "Tuan de Coen, Kapten memanggil anda." Seru Pelaut Inggris itu dengan nada yang mendesak.

"Kau mau ikut?" Ajak Coen kepadanya.

Imelda mengangguk , merasa bahwa dia ingin melihat anjungan kapal sejenak sebelum kembali ke ruangan gelap di dalam kapal.

"Dengan senang hati," jawabnya ramah kepada Coen, sambil bangkit dari senderannya dan mengikuti langkah Coen ke arah anjungan.

Di anjungan kapal, Coen mendengarkan dengan serius saat Kapten menjelaskan situasi yang memerlukan kehadiran dan keahliannya. Imelda, meskipun tidak terlibat secara langsung dalam percakapan itu, tetap berdiri di samping mereka dengan perasaan tegang.

Serenade of ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang