Bab 2

6 0 0
                                    

Imelda terbangun dengan sakit kepala dan pandangan kabur. Sebuah cahaya redup menyelinap masuk dari celah-celah di tembok sel, memberikan sentuhan misterius pada suasana yang terasa sesak. Langit-langit yang rendah dan basah memperkuat sensasi tertekan, seperti dunia ini memendam rahasia kelam di setiap sudutnya.

Dingin menusuk tulang, merayap masuk dari batu-batu kasar yang menyusun dinding. Bau lembab dan penuh sesak bergelayutan di udara, menciptakan atmosfer yang menyeramkan. Saat Imelda mencoba bangkit, tubuhnya kaku dan terasa lemas, seolah-olah kehidupan sendiri telah dicabut darinya. Apalagi ketika bayang-bayang jasad kedua orang tuanya sesekali muncul di pikiran kecilnya.

Sorotan cahaya yang lemah mulai membuka tirai kegelapan menyorot wajah kumal Imelda, seketika Imelda melihat bahwa dia tidak sendirian di dalam sel yang gelap ini. Dua bayangan lain terduduk di sudut ruangan, seperti hantu-hantu yang terperangkap dalam penjara waktu.

"Imelda?" Tanya salah satu diantara mereka, mukanya yang tertutup oleh gelapnya ruangan membuat Imelda menyipitkan matanya memperhatikan.

Sosok yang bertanya itu pun merangkak mendekati Imelda wajahnya yang gelap kini mulai terkena cahaya yang redup. 

Imelda terperangah, tak percaya bahwa di tengah kegelapan ini saat melihat wajah teman lamanya saat bersekolah satu tahun di  Hoogere Burgerschool te Batavia─sekolah menengah umum di Batavia. "Liesbeth" Ucapnya sambil memecahkan tangis memeluk kawan dari masa lalu yang muncul seperti hantu yang datang untuk memberinya sedikit kelegaan. Imelda dalam sergapan emosiona memeluk Liesbeth erat, air mata yang telah lama terpendam akhirnya membanjiri matanya.

"Dimana kita?" Tanya Imelda melepaskan pelukannya dari Liesbeth dengan suaranya yang bergetar ketakutan.

Sementara itu, seorang gadis Belanda lain yang duduk di sudut sel dengan memar di pipinya, menjawab memotong pertanyaan Imelda dengan lemah, "Penjara bawah tanah Stadhuis.

Ia pun ikut merangkak mendekati Imelda yang sedang memeluk Liesbeth, sesosok gadis yang juga merupakan seorang Belanda. "Namaku Gerda." Suaranya terdengar seperti bisikan dari bayangan, tetapi membawa jejak keteguhan hati di tengah keputusasaan.

Ketiganya terdiam dalam kegelapan, tatapan mereka saling bertaut di tengah ruangan yang dipenuhi aroma tidak sedap. Cahaya remang-remang membuat suatu siluet bayangan penjaga penjara diikuti dengan suara langkah kakinya seketika menyulut atmosfer menjadi semakin tegang.

Pintu sel terbuka dengan berat berserta derit besi yang menusuk telinga. Tiga wanita itu dihadapkan pada sejumlah penjaga Jepang dengan raut wajah tanpa ekspresi. Tanpa kata yang keluar dari mulut prajurit Jepang itu, mereka dicengkeram erat dan ditarik keluar dari sel, seolah-olah keberadaan mereka tak lebih dari beban yang perlu segera diurus.

Dengan langkah yang tergesa-gesa melintasi lorong-lorong gelap penjara, Imelda, Liesbeth, dan Gerda diarahkan ke lorong menuju halaman penjara. Suasana di koridor dipenuhi dengan desiran langkah kaki dan desahan nafas ketakutan. Saat mereka keluar dari gedung penjara, matahari terbenam memberikan sentuhan keemasan pada langit, menciptakan kontras yang mencolok dengan bayang-bayang yang ketakutan luar biasa dalam hati mereka.

Di luar, sebuah barisan Prajurit Jepang berdiri di bawah cahaya gemerlap lampu. Truk beroda besar menanti di sana, mesinnya menyala dengan deru yang menggema di udara. Prajurit yang berdiri di belakang truk dengan kasar mendorong mereka masuk ke dalam truk itu, dan saat kaki mereka melangkah naik ke dalam bak truk yang dingin, mereka merasakan getaran mesin yang bersiap untuk membawa mereka ke suatu tempat yang tak diketahui.

Pintu truk tertutup rapat, meninggalkan mereka dalam kegelapan dan keheningan. Hanya suara getaran mesin dan gemuruh roda truk yang menyertainya. Mereka ditarik ke dalam gelap, tanpa tahu apa yang menunggu di balik setiap tikungan dan langkah perjalanan yang mereka tempuh.

Truk tua itu berhenti di hadapan pintu gerbang, mengeluarkan suara deritan rem yang menyatu dengan gemuruh langit yang mendung. Ketiga gadis malang itu dibentak kasar untuk keluar oleh seorang PrajuritJepang yang menggenggam sebuah senapan di tangannya. Langkah-langkah mereka menyusuri tanah yang penuh dengan kenangan kolonial. Gedung bercat putih menjulang di hadapan mereka, dulu merupakan simbol kekuasaan Belanda yang kini telah berubah menjadi pangkalan administratif Jepang.

Langkah kaki mereka bertiga menciptakan dentuman lembut yang menyatu dengan desiran angin malam. Di halaman gedung, mereka bertiga dikumpulkan dengan tawanan-tawanan lain, membentuk barisan yang mencerminkan berbagai nasib yang tak terduga. Cahaya redup lampu di halaman mengungkapkan ekspresi wajah yang penuh ketidakpastian dan ketegangan. Pada barisan yang lain, terdapat belasan wanita lokal berpakaian layaknya seorang pelacur. Prajurit Jepang yang ada di tempat itu kerap menyebut mereka sebagai "Jugun-ianfu" atau dengan arti lain adalah sebuah wanita penghibur.

Tiba-tiba, suasana hening terputus oleh kedatangan seorang perwira Jepang dikelilingi oleh pasukannya yang tegap disiplin, berdiri di hadapan barisan tahanan. Wajahnya yang keras mencerminkan otoritas dan kebencian, sementara matanya yang tajam seperti pedang memeriksa setiap tahanan dengan seksama. Langkah kaki mereka yang terhenti sesaat itu seolah-olah menyatu dengan degupan jantung yang semakin cepat.

"Sebuah kapal selam sekutu kita, Jerman, sebentar lagi akan tiba di Tanjoeng Priok. Laksamana Maeda memerintahkanku untuk memberikan dukungan semangat kepada para pelaut Jerman yang baru tiba itu." Jelas Perwira Jepang itu dengan bahasa Indonesia yang terbatah-batah, nadanya yang keras menggema di seluruh sudut halaman gedung.

Ditengah-tengah keheningan yang mencekam, seorang dari barisan wanita Belanda berlari mencoba untuk menyelamatkan harga dirinya untuk menjadi seorang wanita penghibur. Namun ia tidak berlari lebih jauh lagi, sebab seorang Prajurit Jepang yang ada di situ langung menarik pelatuk senapannya, melubangi leher wanita itu hingga ia terhempas jatuh ke tanah halaman itu.

Perwira Jepang itu memberikan sebuah senyuman kecil, "Itu yang akan terjadi pada kalian jika mencoba untuk kabur." Ucapnya sambil mengayunkan jari menunjuk pada sebuah kotak pakaian yang lebih layak di sampingnya. Dengan cekatan beberapa prajurit disana membuka kotak itu dan mendistribusikan semua baju baru itu kepada tawanan Belanda.

Setelah pakaian selesai didistribusikan, tawanan Belanda diarahkan untuk segera mengganti pakaiannya di tempat. Membuat beberapa dari Prajurit Jepang melecehkan tahanan Belanda yang telanjang mengganti pakaian di barisan itu. Suasana tegang masih menyelimuti halaman bekas penjara, sebagai bayang-bayang kejadian tragis menghantui setiap langkah yang diambil oleh para tawanan itu.

Imelda yang begitu ketakutan bergetar hebat. "Tenang saja Imelda, kita bisa melalui ini bersama." Bisik Liesbeth yang beridiri di sampingnya menenangkan.

Dengan tampang yang tanpa belas kasihan, perwira Jepang itu menatap satu per satu wanita yang ada di hadapannya. Tatapan tajamnya seolah-olah mampu menembus ke dalam jiwa mereka, mengukir ketakutan yang semakin dalam. "Kirim mereka!" Ucapnya dengan tegas, diikuti dengan truk yang tadi mereka tumpangi tiba-tiba bergetar hidup kembali, menandakan bahwa perjalanan menuju tempat yang tak diketahui akan segera dimulai. 

Satu persatu gadis-gadis malang itu memasuki truk tersebut dengan perasaan takut dan terombang-ambing oleh nasib yang tak mereka pahami sepenuhnya.

Imelda pun menyeka airmatanya dalam kegelapan truk itu, "Aku tidak percaya ini." Katanya kepada Liesbeth. Gertha yang hadir di sampingnya pun menghela nafas, tangannya mengelus-elus punggung Imelda mencoba memberikan sedikit kelegaan dalam momen yang kelam ini. Suara mesin truk yang bergemuruh menyertainya, membawa mereka ke dalam kegelapan yang semakin mengaburkan nasib mereka.






Serenade of ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang