Bab 7

4 0 0
                                    

Dalam sinar matahari yang bergerak semakin ke barat, mata mereka bertautan, menciptakan hubungan yang melampaui kata-kata. Senyum tipis di bibir Erich mengandung kelembutan tak terungkap, seolah memberikan penghormatan yang penuh dengan makna. Menghampiri Imelda dengan langkah hati-hati, Erich menyodorkan tangannya.

"Erich Jacob," bisikan Erich seperti melodi yang melibatkan hati.

Imelda, dengan keanggunan seorang wanita yang telah merasakan derita, meraih tangan Erich. Getaran kecil di dadanya menciptakan ikatan tanpa kata. Dia berdiri, melepaskan pelukan Soetrisno, dan mengekspresikan dirinya dalam sentuhan yang tak terucapkan.

"Imelda Van der Meer." katanya pelan sambil menggenggam tangan Erich yang menariknya berdiri.

Soetrisno yang masih berada di dekat Imelda, memandang Erich dengan tatapan yang penuh kekaguman. "Pak pelaut keren sekali." Ucapnya kepada Erich membuat Imelda melepaskan cengkraman tangan Erich.

Imelda menatap Soetrisno dengan mata yang mengejar jawaban, "Kau mengenalnya?" Soetrisno, dengan senangnya mengangguk dan tersenyum saat berjalan mendekati Erich. Dengan pelukan ringan, dia menyampaikan rasa terima kasihnya, "Terima kasih pak pelaut karena telah menyelamatkan Nona Imelda."

"Pak pelaut?" Tanya Imelda pada dirinya sendiri yang terpesona melihat Erich.

Erich mengusap rambut Soetrisno dengan lembut, melibatkan dirinya dalam momen yang sarat makna. Joachim dan Hans, yang mengamati dari belakang, mendekati mereka.

"Bagaimana kalau kami mengantar Soetrisno pulang, kalian berdua bisa melanjutkan perjalanan," usul Joachim, senyumnya penuh pengertian.

Erich membalas dengan senyuman, "Kau memang teman terbaikku." Sementara itu, Imelda dan Erich memutuskan untuk menjauh dari keramaian pasar, memilih sebuah warung makan yang menyimpan cerita di setiap sudutnya.

Mereka menemukan meja kayu sederhana, sinar senja menyinari keadaan sekitar. Imelda, dengan kecantikan yang tetap bersinar, mulai menyantap hidangan lokal. Erich, sementara menatapi Imelda yang tengah menikmati setiap suapannya, terdiam dalam kekaguman.

Dalam atmosfer yang terpenuhi aroma rempah-rempah, Erich memutuskan untuk membuka percakapan, "Apa yang terjadi padamu?" Suaranya lembut, menciptakan ruang yang aman untuk Imelda berbagi kisahnya.

Imelda memberhentikan sendoknya sejenak, memandang mata Erich, "Ayahku seorang perwira Belanda yang di ungsikan dari Rotterdam saat negaramu menyerang Belanda. Tiba di sini adalah satu-satunya pilihan. Mengingat Hindia-Belanda adalah salah satu koloni kami."

Erich menganggukkan kepala, mendengarkan dengan penuh perhatian. "Lalu?" pintanya, ingin memahami lebih dalam.

Imelda menutup mata, membiarkan ingatannya membawa kembali momen pahit. "Orangtuaku... mereka..." Suaranya terhenti sejenak, diisi oleh gemuruh hening yang mengelilingi warung makan. Air mata perlahan bergulir di pipi Imelda, mencerminkan derita yang masih membekas.

Erich menggenggam tangan Imelda, menciptakan sentuhan yang penuh kehangatan sebagai bentuk dukungan. Jari-jari kasar seorang pelaut bertaut dengan lembut pada jemari halus Imelda. Senyuman Erich berusaha menjadi sekuntum bunga harapan di kegelapan yang menyelinap dalam cerita Imelda.

"Dunia ini terkadang begitu kejam," bisik Erich, seakan mencoba merangkul luka-luka yang tak terucapkan. Mata mereka saling bertemu, menciptakan ikatan tanpa kata yang mendalam. Melalui senyap, mereka merasakan getaran emosi yang mengalir di antara jalinan tangan mereka.

Imelda akhirnya mampu melanjutkan, "Orangtuaku menjadi korban dari perang yang tak mereka minta." Suara Imelda sarat dengan beban luka, dan senja seolah turut merasakan kepedihan yang terpatri dalam ceritanya.

Serenade of ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang