Dua pekan penuh ketekunan memperbaiki buritan torpedo, diwarnai oleh suara gemuruh alat-alat yang diperbaiki, sorot mata yang tak kenal lelah, dan aroma minyak laut yang menyatu dengan napas mereka.
Kini kapal itu sekali lagi menyelusuri birunya Lautan Jawa yang luas, setiap awak kapal menjadikan lautan sebagai panggung kehidupan baru. Mereka merajut diri dalam harmoni dengan gemuruh ombak yang menggema, di mana setiap gelombang adalah bait puisi, dan tiupan angin adalah seruan alam.
Di tengah suasana yang sarat dengan makna, Erich mengucapkan doa ringan saat ia bersama teman-teman dekatnya duduk di kasur masing-masing sebelum menikmati hidangan sederhana dengan penuh kenikmatan, ucapan "Amin" keluar dari bibirnya, menyelaraskan dirinya dengan doa makan yang memeluk mereka semua.
"Amin." Balas awak kapal yang lain menandakan hindangan itu siap masuk ke dalam mulut mereka.
Mereka mulai menyantap lahap makanan yang ada dihadapannya. Sesekali sambil tertawa riang dengan percakapan kecil yang mereka miliki.
"Bagaimana ya mereka?" Saut Hans sembari mengunyah makanan di mulutnya.
"Mereka baik-baik saja, Hans," jawab Erich sambil tersenyum.
"Bagaimana kau tau?" Tanya Hans kembali,
"Aku merasakannya." Jawab Erich.
Sejenak, jawaban Erich menggantung di udara, menciptakan keheningan yang sarat makna, memberikan tatapan yang serius. Tiba-tiba Gerhard tertawa terbahak-bahak melihat jawaban dari Erich dengan nada yang sangat serius itu. Membuat semua orang yang ada disitu ikutan ketawa.
"Sudah lah Erich, tenang saja. Perang ini sebentar lagi selesai kok." Saut Albert dari kasurnya.
Erich pun ikut terbawa suasana yang ada disana, "Aku serius." Ucapnya sambil ikutan tersenyum melihat teman-temannya yang tertawa.
"Kau selalu punya caramu sendiri, Oberleutnant," ucap Klaus sambil tersenyum, menunjukkan keakraban di antara mereka.
***
Pich dengan seksama memperhatikan dengan cermat kondisi kapalnya ia berjalan kesana kemari di ruang kemudi sambil melihat jarum-jarum instrumen yang ada di situ. Dengan sebagian awaknya yang sedang berada di luar kapal selam memperhatikan seluru cakrawala yang ada diatasnya.
Tiba-tiba seorang petugas sonar memanggil Pich dari ruang sonarnya. "Herr-Kapitänleutnant!" Pich mendengar panggilan itu dan segera melangkah menuju ruang sonar.
Saat tiba di ruang sonar, Pich melihat petugas sonar yang tampak tegang di depan layar monitor. "Apa yang terjadi?" tanya Pich dengan suara yang tenang namun tegas.
Petugas sonar menatap Pich dengan ekspresi serius. "Herr-Kapitänleutnant, aku mendengar sesuatu, baring 106. Sepertinya ada kehadiran kapal musuh di dekat wilayah kita."
"Jarak?" Tanya Pich kepadanya, namun ia tidak menjawab. Tangan petugas itu menekan headset yang ada ditelinganya, mengamati suara sonar yang ia dengar. Membuat keheningan beberapa detik.
Tiba-tiba, tangan petugas itu dengan cepat melepaskan headset yang ada di telinganya, membanting headset itu dengan sangat panik. "Torpedo mendekat!" Teriak petugas itu dengan sangat kencang seketika membuat Pich dan awak yang mendengar itu langsung lari dengan sangat cepat ke posisi masing-masing. Tangan salah satu awak disana meraih sebuah tombol alarm.
Pich yang baru tiba di ruang kemudi langsung menarik periskopnya dan melihat sekeliling dengan cepat. Namun, ia tidak mendapati adanya musuh diatas permukaan air laut. "Kapal selam." Bisiknya pada diri sendiri menyadari bahwa ancaman mereka adalah kapal selam musuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade of Shadows
Historical FictionErich Jacob, seorang awak kapal selam angkatan laut Jerman pada perang dunia kedua. Unitnya ditugaskan untuk melintasi Hinda hingga ke Hinda-Belanda untuk membantu sekutunya, Jepang dalam menaklukan asia. Dalam perjalanan tempurnya, ia bertemu denga...