Imelda menghentikan langkah cepatnya begitu menemui tumpukan kayu yang bisa dijadikan tempat bersembunyi. Dengan hati berdebar, ia melihat sekeliling, memastikan bahwa sosok nazi yang menyelamatkan nyawanya dan baru ia tumbangkan tidak mengikutinya. Dengan cepat dan cermat, Imelda menyelinap di antara kayu-kayu tersebut, merasa sedikit lega karena berhasil menemukan tempat perlindungan. Cahaya redup di antara celah-celah kayu memberikan sedikit kenyamanan, namun ketegangan masih menyelimuti pikirannya.
Dengan nafas yang tergesa-gesa, ia melihat sosok perwira nazi itu yang berlari ke pesimpangan gang tempat Imelda mendorongnya. Matanya mengintip dari sela-sela tumpukan kayu, menatap pria itu dengan seksama.
Imelda merasakan kelegaan mendalam ketika pria itu akhirnya melangkah keluar dari pandangannya. Nafasnya terhela panjang menenangkan diri.
Dengan jantung yang masih berdebar, Imelda melangkah dengan hati-hati meninggalkan tempat persembunyiannya, kembali adrenalinnya mengalir deras ketika ia masuk kembali ke dalam gang gelap di mana Prajurit Jepang yang pingsan masih terbujur kaku. Tanpa ragu, tangannya dengan gesit meraih senapan yang tergeletak di samping tubuh tak berdaya itu.
Namun, ambisinya tidak berhenti di situ. Dengan cermat, Imelda membuka kancing tas amunisi di pinggang Prajurit Jepang untuk mencuri beberapa butir amunisi yang mungkin sangat berguna. Perlahan, langkahnya membawa Imelda lebih dekat pada identitas yang harus dihindarinya, dan dengan tangan gemetarnya, ia melepas jaket kulit prajurit Jepang itu lalu mengenakannya.
Rasanya dingin saat jaket itu menyentuh kulitnya, namun Imelda tahu bahwa perubahan ini penting untuk menyamar. Ia mencermati setiap detail, memastikan penampilannya tak menimbulkan kecurigaan. Tersembul rambut pirangnya di bawah tepi jaket, menciptakan gambaran baru baginya.
Imelda melanjutkan langkahnya mengendap-endap di tepi jalanan yang sepi, bayangan gedung-gedung tua kota Batavia menjadi saksi bisu perjalanannya. Cahaya remang-remang lampu jalan menyoroti setiap langkahnya, menciptakan coretan-cahaya di permukaan batu jalan yang berdebu. Udara malam yang dingin membelai wajahnya, menyisakan aroma khas kota yang tak pernah tidur.
Setiap sudut kota Batavia menyimpan cerita, seperti pintu gerbang yang menyambutnya saat ia mendekati rumahnya. Ia derdiam sejenak di dekat pagar halamannya yang luas. Seketika momen kematian kedua orang tuanya terpampang kembali di benaknya, membuat airmatanya perlahan jatuh. Imelda pun melanjutkan langkahnya melewati pos tempat biasa Broekert berdiri menyapanya setiap kali ia melintasinya. Pintu gerbang yang kokoh menjadi saksi bisu pada kilas balik yang mendalam dalam pikiran Imelda. Setiap langkah di halaman itu membangkitkan memori yang terkunci rapat di hatinya.
Pintu kayu berukir dengan motif khas kolonial menyambut Imelda, membuka lembaran baru menuju kediamannya yang gelap gulita, hening tanpa kehadiran penghuni. Suasana itu semakin memperkuat aura nostalgia dan kepedihan yang melingkupi Imelda, seolah pintu itu adalah gerbang menuju ruang kenangan yang tak pernah padam.
Imelda menghidupkan lilin, membiarkan cahayanya menyinari ruangan yang sejenak hening. Dengan langkah ringan, ia meninggalkan ruang tamu dan menuju kamarnya. Setibanya di sana, kelelahan mencengkeram tubuhnya. Dengan lembut, ia merundukkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya masih bermain di otaknya. Sekilas, wajah tampan pria nazi itu kembali hadir di benaknya seakan-akan tidak mengijinkan Imelda untuk tidur. Ia pun menggulingkan tubuhnya ke samping, siapa tau dapat melupakan pria itu. Namun sama saja, wajah pria itu masih berkutat pikirannya.
"Mana mungkin aku jatuh cinta pada seorang perwira Nazi?" bisiknya pada diri sendiri, mencoba meredakan pertarungan batin yang sengit. Namun, tak peduli seberapa keras Imelda mencoba, bayangan wajah pria itu seperti terukir begitu dalam di benaknya.
Beberapa jam berlalu, Imelda masih sadar dalam pejaman matanya, tidak bisa terlelap. "Tapi, mengapa?" gumamnya pelan, sebelum energinya benar-benar habis dan membuat pikirannya terajut mimpi di bawah kedamaian malam yang diterangi oleh sinar lembut lilin. Di dalam tidurnya, Imelda menemukan ketenangan sejenak, seolah melarikan diri dari kerumitan hidupnya yang penuh dengan liku-liku.
Di bawah cahaya remang-remang lilin, bayangannya terayun-ayun di dinding kamar, menciptakan panggung yang damai untuk mengakhiri hari yang penuh peristiwa. Mimpi-mimpi membawanya menjelajahi alam bawah sadar, membayangkan kehidupan yang mungkin berbeda di dunianya yang penuh warna. Dalam tidurnya, Imelda tenggelam dalam pelukan malam yang tenang, membebaskannya sejenak dari realitas yang membebani.
Sinar fajar mulai menyinari wajah Imelda ketika dia terbangun, melemparkan cahaya lembut ke dalam kamarnya. Sisa-sisa mimpi masih bergaung di pikirannya, seperti bisikan melodi yang jauh. Lilin yang berkedip-kedip, kini hanya tersisa bara kecil, menjadi saksi dari malam yang berubah menjadi pagi.
Imelda meraih genggamannya saat ia melangkah keluar dari kamarnya, berharap menemukan sesuap nasi untuk mengenyangkan perutnya yang keroncongan. Namun, saat ia tiba di dapur, kekecewaan menyergapnya. Dapur yang dulu dipenuhi oleh bau harum rempah dan cita rasa masakan ibunya, kini hanya tinggal sisa-sisa kekosongan. Prajurit Jepang yang tidak berbelas kasihan telah melucuti habis kehidupan di rumahnya, merampas segala sesuatu yang bernilai.
Imelda menghela nafas dalam-dalam, menahan kekecewaannya. Lapar mendorongnya untuk mencari makan, namun realitas yang keras memaksa dia untuk menunda kebutuhan dasarnya. Ia memutuskan untuk menahan lapar, berharap akan ada jalan keluar nanti.
Pagi berubah menjadi siang, dan siang itu membawa rasa lapar yang semakin tak tertahankan. Imelda tahu bahwa ia tidak bisa menunda lagi. Ia memutuskan untuk pergi ke pasar, meskipun hanya dengan harapan tipis untuk menemukan sesuatu yang bisa dimakan.
Langkahnya melintasi jalanan kota Batavia yang padat, seperti bayangan yang menyelinap di bawah cahaya matahari siang. Dengan hati-hati, Imelda memasuki pasar yang masih membeku dalam suasana peperangan. Namun, sesampainya di sana, ia menyadari bahwa tak ada uang di saku kecilnya untuk membeli makanan. Ia kemudian melihat satu persatu wajah yang ada di pasar itu, berharap menemukan wajah yang ia kenal. Mungkin dapat membantunya.
Setiap langkah di pasar membangkitkan ingatan, dan wajah pria semalam yang masih misterius semakin menyusup dalam benaknya. Keingintahuannya tentang pria itu tumbuh, seiring rasa lapar yang tak tertahankan. Imelda merenung, mencoba memahami perasaannya yang tercampur aduk.
"Apa yang sedang aku lakukan?" Gumam Imelda dalam hati sambil memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Sementara matahari terus menaiki langit, Imelda berjalan di antara deretan toko di pasar yang ramai. Setiap langkahnya penuh dengan ketidakpastian, seperti detik-detik ketegangan yang menggantung di udara. Pernapasan dan denyut nadinya seakan menjadi orkestra yang memainkan melodi kekhawatiran.
Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti mendadak. Mata Imelda terbelalak ketika seorang prajurit Jepang yang sedang berpatroli muncul di depannya. Seperti dalam skenario yang terus berulang, takdirnya kini tergantung pada pertemuan dengan musuh yang harus dihindarinya. Cahaya matahari yang tajam menerangi wajah prajurit itu, menambah dramatisasi suasana.
Prajurit Jepang itu memandang Imelda dengan tatapan tajam, seolah mencoba menembus kain batik yang menyamarinya. Imelda merasa ketegangan memenuhi setiap serat tubuhnya, seakan dirinya menjadi buruan yang harus menyusup dalam kegelapan.
"Kau! Berhenti di tempat ini!" perintah prajurit itu dengan suara lantang, memecah sunyi yang sebelumnya mengelilingi Imelda. Sementara prajurit itu mendekat, Imelda merasa serpihan-serpihan keringat muncul di pelipisnya. Jarinya semakin erat mencengkram senapan kayu yang tersembunyi di balik jubahnya seakan menjadi teman setia yang siap diandalkan dalam menghadapi situasi yang tak terduga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade of Shadows
Fiksi SejarahErich Jacob, seorang awak kapal selam angkatan laut Jerman pada perang dunia kedua. Unitnya ditugaskan untuk melintasi Hinda hingga ke Hinda-Belanda untuk membantu sekutunya, Jepang dalam menaklukan asia. Dalam perjalanan tempurnya, ia bertemu denga...