Happy reading, semoga suka.
Yang mau baca lebih lengkap dan cepat, silakan ke Karyakarsa. Bab 6-8 sudah update.
Luv,Carmen
_________________________________________________________________________
Setelah makan malam di hari berikutnya, Emily masuk ke dalam kamarku dan menutup pintu.
"Terima kasih karena sudah membantuku kemarin malam," ucapnya memulai, agak canggung.
"Tidak masalah," jawabku.
"Terima kasih juga karena mengalihkan perhatian ibuku dan ayahmu, kupikir tadi malam aku akan berada dalam masalah besar."
Jadi seperti itulah rencana kami. Ketika masih berada di dalam mobil, kami sudah mengaturnya. Aku akan masuk terlebih dulu ke dalam rumah dan Emily akan masuk sepuluh menit kemudian. Saat aku masuk ke dalam rumah, aku memberitahu ayah dan ibu tiriku bahwa aku ingin mendiskusikan hal penting dengan mereka dan meminta untuk berbicara di ruang kerja ayahku.
Aku mengangkat bahuku ringan. "Bukan masalah besar, aku memang ingin berbicara dengan mereka."
"Jadi, kau akan melanjutkan Master-mu di California?" tanya Emily setelahnya.
"Ya, aku tidak bisa melepaskan kesempatan sebaik itu, bukan?"
Ayahku sebenarnya ingin aku mulai bekerja di perusahaannya setelah lulus sambil melanjutkan kuliahku di kota ini, tapi aku tidak bisa melepaskan tawaran beasiswa dari Stanford. Walaupun berat, Beliau akhirnya mengerti dan menghormati keputusanku. Itu adalah tujuan utamaku kembali ke rumah minggu ini, aku bahkan tidak ingin memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi pada adik tiriku itu jika aku tidak berada di rumah tadi malam. "Lain kali, jika kejadian tadi malam berulang, jika kau berada dalam situasi yang sama lagi, telepon saja aku. Aku tidak akan senang, tapi setidaknya aku ingin kau aman. So call me whenever you need help, Little Sis."
Dulu, aku sebenarnya sedikit canggung terhadap adik tiriku itu. Saat ayahku menikah dengan ibunya, aku sudah tinggal sendiri di apartemen studioku di dekat kampus dan kami tidak banyak menghabiskan waktu bersama apalagi belajar saling mengenal. Tapi saat ayahku memintaku pulang selama liburan Natal dan Tahun Baru dan tinggal hingga semester selanjutnya dimulai sehingga aku bisa ikut dengannya ke kantor, aku merasa sesuatu dalam hubungan kami berubah – aku menyukai ibu tiriku karena dia sepertinya tulus terhadap ayahku dan Emily bukanlah adik kecil tiri manja yang menyebalkan melainkan gadis cantik yang cerdas dan ceria. Mungkin sedikit usil dan banyak bicara, tapi dia sosok yang menyenangkan. Pelan-pelan, aku menerima keberadaan mereka walaupun tentu saja, ibu tiriku itu tidak akan pernah bisa menggantikan posisi mendiang ibuku. Tapi setelah dua tahun, aku sudah terbiasa dengan keluarga baru ini – dan juga dengan keberadaan seorang gadis yang notabene adalah adik kecilku secara hukum.
"Adakah yang bisa kulakukan untuk membalas bantuanmu?" tanya gadis itu kemudian sambil memamerkan senyumnya yang terkadang menurutku terlalu manis.
Aku menggeleng. "Tidak perlu."
"Kau sudah punya pacar?" tanyanya dengan nada selidik.
Aku menatapnya dengan kening berkerut. "Tidak. Tapi apa urusanmu?"
Senyum Emily melebar. "Aku mungkin bisa membantumu."
"Oh ya? Kau ingin mengatur kencan buatku dengan salah satu teman pemandu sorakmu, mungkin?"
Senyum Emily memudar sedikit. "Hampir semua pemandu sorak yang kukenal sudah memiliki pasangan masing-masing."
"Oh, ya sudah kalau begitu, apa salah mencobanya, bukan?"
"Dasar pria," omelnya pelan tapi aku mengabaikan ucapannya tersebut.
"Bagaimana kalau kau bercerita bagaimana kau bisa sampai berakhir di situasi seperti kemarin?" tanyaku kemudian.
Emily bergeming sejenak di tengah ruangan sebelum berjalan untuk duduk di pinggir ranjangku sementara aku masih duduk di kursi meja belajarku.
"Baiklah." Dia lalu mendesah kecil. "Sudah sejak lama aku ingin berkencan dengan seorang atlet cerdas dan tadi malam, kupikir akhirnya aku sudah menemukan pria yang tepat untukku. Kau tidak mengenal David, dia anak pindahan dan langsung populer. Dia tampan, cerdas, juga atlet berbakat. Kurasa semua gadis satu sekolah menginginkannya. Lalu beberapa minggu yang lalu, dia mulai menunjukkan ketertarikannya padaku. Aku tentu saja senang, dia tampak seperti pria baik. Aku langsung mengiyakan ajakan kencannya."
Emily mencondongkan tubuhnya, sepertinya senang karena ada yang mendengar ceritanya. Memang gadis itu lebih suka berbicara dan mendominasi percakapan kami setiap kali kami memiliki kesempatan berbincang.
"Jadi, kami keluar untuk makan malam dan menghabiskan waktu bersama. It was great at first. Dia berbeda dari pemain football lainnya. Alih-alih sibuk terus membicarakan football, kami juga mengobrol topik seputar buku, film dan musik. Kami juga mendapati bahwa kami memiliki banyak kesamaan. Dia juga tampak sangat perhatian dan dewasa. Saat itu aku berpikir, wah, ini benar-benar hebat, dia memang pria yang tepat. Kami lalu memutuskan untuk pergi menonton dan dia menciumku di tengah film. Saat kami keluar, dia mengajakku untuk pergi ke suatu tempat, hanya berdua."
"Jadi semua berjalan lancar saat itu?" tanyaku.
"Ya, kencan terbaik yang pernah kumiliki, saat itu. Ketika berkendara, aku bahkan sudah memutuskan bahwa aku akan membiarkan dia melakukan apapun, asal pakaian kami tetap melekat di tubuh kami, tentu saja."
Aku mengangguk.
"Lalu segalanya hancur. Ternyata dia membawaku ke rumah temannya, salah satu pemain football di dalam timnya, yang kebetulan sedang mengadakan pesta. Aku sangat tidak senang akan itu tapi dia berjanji bahwa kami hanya sebentar di sana. Lalu dia meninggalkanku untuk mencari seseorang dan aku dengan tololnya meminum minuman yang disodorkan oleh temannya. Saat David tidak juga kembali, aku pergi mencarinya dan menemukannya bersama dengan beberapa pemain football lainnya. Dan saat mendengar percakapan mereka, aku merasa IQ David turun begitu drastis dan mereka hanya berbicara seputar permainan football. Seseorang kembali menyodorkan minuman padaku dan aku kembali menenggakya, aku haus dan lapar saat menunggunya selesai berbicara dengan teman-temannya. Aku baru saja akan memberitahu David untuk membawaku pulang ketika salah satu temannya datang dan membisikkan sesuatu padanya. David lalu bangun dan menarik tanganku dan membawaku ke atas. Saat menaiki tangga, aku sadar bahwa aku agak mabuk."
Shit!
"David menarikku ke dalam kamar tidur dan menguncinya. Kamar itu beraroma alkohol dan ranjangnya berantakan. Jelas terlihat kalau para pasangan bergantian menggunakan kamar ini dan David sedang menunggu gilirannya untuk ke atas."
Wajah Emily kini berubah dari amarah menjadi rasa takut.
"Akumulai ketakutan. Aku dibawa ke kamar di luar persetujuanku dan sekarang akuhanya berdua saja dengan pria besar itu. David lalu berkata bahwa sekarang kamimemiliki privasi dan memintaku untuk berbaring di atas ranjang. Saat itu akubenar-benar ketakutan dan juga mual dan aku ingin segera pergi dari sana. Davidlalu meraihku dan berusaha menciumku tapi aku menghindar. Dia dengan kesalbertanya mengapa dan berkata bahwa aku tadi bahkan membalas ciumannya di dalambioskop. Aku menjawab bahwa aku merasatidak nyaman dan aku ingin pulang. Dia mulai marah dan menyebutku munafik,berkata bahwa dia tahu kalau aku menginginkannya. Dia berusaha meraihku lagitapi aku berhasil menghindar lalu aku menendangnya di lutut. Saat dia mengerangkesakitan, aku mengunci diriku di dalam kamar mandi di kamar tersebut danmeneleponmu. Saat kau setuju untuk menjemputku, aku berteriak pada pria itubahwa aku sudah menghubungimu dan kau sudah dalam perjalanan, aku juga tidaklupa menambahkan fakta bahwa kau seorang atlet wrestler yang hebat dan selalumenang di setiap kejuaraan. David mulai membujukku untuk keluar dari kamar manditapi aku menolak. Saat kau tiba, aku membuka pintu kamar mandi dan David membiarkanku pergi. Sisanya, kau sudah tahu."