Happy reading, semoga suka.
Full version bisa didapatkan di Playstore dan Karyakarsa.
Luv,
Carmen
________________________________________________________________________________
Aku tahu bahwa semua yang dikatakan oleh Emily benar. Semuanya benar. Dan aku akan menjadi pria paling munafik jika aku membiarkan gadis itu mempermalukan dirinya sendiri dengan kebohonganku. Sambil mendesah, aku memberitahunya apa yang paling ingin didengar oleh Emily, juga yang paling tidak bersedia aku akui bahkan pada diriku sendiri.
"Ya, Emily, kau benar. Jika..."
"I knew it..."
Aku langsung menjauhkan kembali gadis itu sebelum dia berhasil meraihku.
"Dengarkan aku dulu, oke? Kuakui, aku hanya pria biasa sedangkan kau adalah gadis yang sangat menarik. Aku tidak akan menampik kenyataan bahwa aku pernah berpikir jika seandainya saja kau bukan adik tiriku, aku pasti tidak akan melewatkan kesempatan untuk berkencan denganmu tapi masalahnya, Emily..."
"Apa masalahnya?" potong Emily, kini terdengar frustasi. "Apakah kencan-kencan kita tidak hebat?"
Aku menggeleng. "Kencan kita hebat. Jadi sebaiknya kita mengakhirinya sebelum..."
"Sebelum apa?"
"Sebelum semuanya menjadi tidak terkendali," tegasku.
Tapi respon Emily di luar dugaanku. Tapi itu memang cocok untuk gadis itu.
"Itu yang aku ingikan."
"Emily!"
"Aku ingin kau kehilangan kendali dirimu seperti aku kehilangan kendali diriku. Aku benci melihatmu selalu menahan diri dan berlindung di balik kata saudara tiri. Oh, Andrew yang suci, kau tidak sesuci itu, berhentilah membohongi kita berdua. Aku menginginkanmu, apakah kau tidak penasaran seperti apa kita bila kita membiarkan gairah membimbing kita, Andrew?"
Gadis ini adalah perayu sejati tapi bohong apalagi aku tidak mendapati diriku mulai goyah. Tapi tidak adalah tidak. Emily mungkin terlalu sulit untuk ditolak tapi aku juga tidak ingin mencari masalah dengan orangtua kami. Emily sendiri adalah masalah, berhubungan dengan gadis itu akan menjadi masalah dan bencana besar untukku. Risikonya terlalu besar.
Aku kembali menggeleng. "Tidak, Emily. Seluruh situasi ini sangat salah. Menyetujui untuk kencan denganmu adalah kesalahan awalku. We should stop this while we can." Aku masih berusaha menyuntikkan akal sehat ke dalam diri gadis itu. Well, salah satu dari kami harus melakukannya, bukan?
"Kau munafik."
Aku tersenyum muram. Gadis itu memang benar, bukan?
"Aku akan mengantarmu pulang sekarang."
"Aku tidak akan pergi ke mana-mana," ucap gadis itu dengan keras kepala.
"Emily, hentikan sikap kekanak-kanakanmu!"
"Aku tidak akan pergi ke mana-mana sebelum aku mendapatkan keinginkanku," ucapnya bersikeras.
"Apa yang kau inginkan?!" tanyaku kasar.
"Aku ingin menciummu, aku ingin menyentuhmu, aku ingin merasakanmu."
"Kau... kenapa kau melakukan ini, Emily?" bentakku setengah putus asa, setengah kesal.
"Untuk menuntaskan rasa penasaranku, bisa saja kau tidak sehebat itu. Please, Andrew, setelah ini, aku tidak akan mengganggumu lagi. Kau akan segera pindah, aku akan pergi ke college, kita akan menempuh jalan masing-masing. Just give me what i want tonight and let's not talk about it anymore, fair enough?"
Sebenarnya tidak ada yang cukup adil dalam semua saran gila yang diberikan oleh Emily tapi aku mendapati diriku mempertimbangkannya.
"Tidakkah kau juga ingin melakukan hal yang sama, Andrew?" bujuk gadis itu lagi.
Bedebah! Aku tahu aku benar-benar berengsek bila sampai menyetujui permintaan Emily. Gadis itu terlalu muda, terlalu impulsif dan berapi-api tapi aku seharusnya bisa lebih mengendalikan diri. Namun nyatanya, kontrol diriku tidak lebih baik dari Emily. Aku membenarkan perkataannya, aku mulai meyakinkan diriku bahwa aku boleh-boleh saja bersikap egois. Toh kami tidak memiliki hubungan apa-apa kecuali ikatan pernikahan dari kedua orangtua kami. Kami adalah dua orang dewasa, yang sebenarnya bebas membuat dan mengambil keputusan untuk kami berdua. Jika saja Emily bukan anak dari ibu tiriku, tentu aku tidak akan ragu menciumi, menyentuh dan bahkan membawanya ke tempat tidur. Dan di sini, saat ini, gadis itu sedang menawarkan sesuatu yang selama ini diam-diam aku inginkan.
"Fine," ucapku setelahnya, menyerah pada godaan tersebut. "Kita bebas melakukan apa saja, as long as our clothes stays on."
"Deal!"
Entah kenapa, aku merasa aku seperti baru saja membuat perjanjian dengan iblis.
But hell, di tahap ini, aku tidak lagi peduli!