Happy reading, semoga suka.
Yang mau baca duluan, di Karyakarsa sudah update sampai tamat ya.
Luv,
Carmen
_________________________________________
Pagi berikutnya, ketika turun untuk sarapan, aku menanyakan tentang pesan yang ditinggalkan gadis itu di kamarku. “Jadi bantuan seperti apa yang kau inginkan?”
Dan berharap kalau gadis itu tidak akan meminta bantuan yang aneh-aneh dan tidak masuk akal karena aku berusaha keras untuk mengembalikan suasana menjadi seperti semula sebelum kencan di Jumat malam kemarin.
“Oh, Mrs. Montana, yang mana adalah guru kesukaanku, dia hari ini memiliki kegiatan di sekolah sampai tengah hari dan aku sudah mengajukan diri untuk menjaga dan mengawasi kedua anak lelakinya dan aku ingin kau ikut untuk membantuku.”
Aku menatap Emily sejenak lalu menanggapi. “So now, you want me to babysit?”
“Aku ingin kau menemaniku dan bermain-main anak-anak lelaki itu. Mereka berusia 4 dan 6 tahun, kurasa mereka akan senang bermain-main dengan pria besar sepertimu.”
“Dan apa yang akan kau lakukan? Kupikir menjaga anak-anak ini adalah idemu karena kau menikmatinya?”
Emily berdecak pelan. “Aku tentu saja akan melakukan sesuatu. Aku akan memastikan semua orang bersenang-senang nantinya. Aku sudah menyiapkan makan siang dan camilan untuk kita, aku bahkan sudah mengepak semuanya di tas.”
“Kau akan membagi dua upahmu nanti?” tanyaku.
“Aku akan memberimu lebih, ¾ juga tidak masalah, kau bahkan bisa mengambil semua upahnya untukmu karena aku suka rela membantu Mrs. Montana,” jelas gadis itu lagi.
Aku akhirnya menyerah dan menyetir ke rumah Mrs. Montana lalu membawa anak-anak itu ke taman. Di sana kami bermain bersama, hide and seek, kejar-kejaran dan berbagai macam permainan yang bisa dipikirkan oleh adik tiriku itu. Aku juga mengayun anak-anak itu di ayunan, mengawasi mereka memanjat dan bermain. Emily mengambil peran seperti seorang ibu, mengawasi dan memperingatkan sementara aku bermain seperti anak-anak dan terkejut bahwa aku menikmati waktu itu bersama dengan kedua bocah cilik tersebut. Saat Mrs. Montana kembali, kami akirnya membawa anak-anak itu kembali ke rumah mereka. Sebelum aku pulang, mereka berdua berebut memelukku dan memberitahuku bahwa aku adalah babysitter terbaik yang pernah mereka miliki. Tak pelak, aku terharu mendengarnya.
Begitu kami tiba kembali ke rumah, aku memberitahunya bahwa aku akan tidur siang sebentar. Gadis itu mengiyakan tapi sebelum aku berlalu, dia tiba-tiba menghentikanku.
“Apa kau merindukan Jennifer setelah berpisah darinya?” tanya gadis itu tiba-tiba.
Langkahku terhenti dan aku menoleh menatap gadis itu. “Sudah kubilang, bukan? Itu bukan urusanmu, Gadis Kecil.”
Aku sengaja melakukannya, hanya untuk membuat Emily kesal dan menghentikan apapun rencana yang sekarang ada di dalam benaknya itu.
“Aku bukan gadis kecil!” bentaknya tapi dia mendengus kesal dan melanjutkan kembali dengan nada biasa. “Oke, kalau kau tidak mau menjawab. Bagaimana dengan ini? Apa kau mencintainya?”
“Emily, bukankah aku sudah bilang kalau…”
“Kalau kau terus menghindar untuk menjawab, itu berarti kau masih mencintainya!” tantang gadis itu.
Dan seperti orang tolol, aku langsung bereaksi.
“Tentu saja tidak!” bantahku.
“Oh ya?”
Aku menghela napas dan memutuskan untuk menjawab, setidaknya agar Emily puas dan tidak terus menggangguku dengan segala hal tentang Jennifer. Karena aku tahu, jika aku tidak menuntaskannya, Emily akan terus mencari cara untuk mengulang kembali pertanyaannya dan tidak akan mundur sampai dia mendapatkan jawabannya dariku.
“Oke, kau mau tahu?”
Emily mengangguk. “Karena itulah aku bertanya.”
“Tidak. Aku tidak lagi mencintainya. Bahkan aku ragu kalau aku pernah mencintainya. Aku pernah berpikir kalau aku adalah hal penting dalam hidupnya tapi akhirnya aku sadar kalau ternyata aku tidaklah berarti untuknya. Cinta itu adalah komitmen dan aku baru tahu bahwa dia sama sekali tidak memiliki komitmen apapun terhadapku. Aku pasti adalah orang yang tolol jika aku terus merindukan seseorang yang tidak pernah menganggapku cukup penting.”
Senyum puas muncul di bibir Emily sementara perasaanku menjadi tidak enak.
“Terima kasih karena sudah jujur padaku.”
Aku terkesiap dan tidak siap saat gadis itu tiba-tiba memelukku lalu mendaratkan ciuman ke pipiku.
“Emily!” tegurku.
Dia menjauh dan menatapku dengan cengiran usilnya. “Kau sendiri yang bilang kalau ciuman di pipi tidak masalah.”
“Apa yang harus kulakukan padamu?” ucapku setengah menyerah.
“Berkencanlah denganku Jumat malam nanti,” ajaknya cepat.
“Apa?!” Aku nyaris tidak mempercayai pendengaranku sendiri. “Tidak itu lagi, Emily.”
“Kenapa tidak? Kita hanya akan makan dan bersenang-senang sejenak. Kali ini kau yang memilih restorannya dan aku yang akan menentukan apa yang akan kita lakukan selanjutnya.”
“Kupikir kita sudah sepakat bahwa Jumat kemarin adalah yang pertama dan terakhir,” ujarku mengingatkannya.
“Siapa yang sepakat? Aku jelas tidak,” jawab gadis itu seenaknya.
Aku menggeleng tegas. “Pokoknya tidak.”
“Percayalah, it will be fun, Andrew.”
“No, Emily. No is a no!”