Bab 6

1K 166 3
                                    

Happy reading, semoga suka.

Yang mau baca lebih cepat, bisa ke Karyakarsa ya. Bab 18-19 sudah update (Mature Scene 21+ warning)

 Bab 18-19 sudah update (Mature Scene 21+ warning)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

L

uv,

Carmen

___________________________________________________________________________

Aku mendengarkan perkataan gadis itu sejenak dan menimbang-nimbang. Oke, jadi ini hanya sekadar bepura-pura. Cuman sekadar akting untuk menunjukkan pada Emily bagaimana seharusnya seorang pria memperlakukan wanita, begitu bukan maksud gadis itu. Jika memang begitu, aku masih bisa menerimanya.

"Oke," jawabku kemudian. "Jadi, hanya berpura-pura."

"Iya," gadis itu mengiyakan.

"Jadi kau ingin makan malam di sini saja? Atau ada restoran lain yang ingin kau datangi?" tanyaku memulai kencan pura-pura yang terasa konyol bagiku itu.

"Di sini saja," jawab Emily sambil tersenyum.

Aku mengangguk lalu kami mulai memanggil pelayan untuk memesan makanan. Kami lalu mulai berpura pura berakting bahwa ini hanya sekadar kencan buta dan kami tidak saling mengenal sebelumnya.

"Jadi kau akan pergi ke college setelah ini? Kau sudah menentukan pilihan?" tanyaku, walau masih merasa konyol dengan situasi tidak biasa ini.

"Ya." Emily menyebut universitas tempatku kuliah sekarang.

"Oh, sama dengan universitasku," responku.

"Kau mengambil jurusan apa?" tanya gadis itu berpura-pura dan walaupun terasa konyol, aku tetap menjawabnya.

"Manajemen. Bagaimana denganmu?" tanyaku balik.

"Sama. Aku tertarik dengan ilmu pemasaran," jawabnya.

Aku mengangguk. Bukan kejutan. Kurasa gadis itu akan sangat cocok di jurusan tersebut.

"Kau suka membaca novel?" tanya Emily lagi sambil menatapku dengan senyum.

"Ya, aku suka," jawabku lagi.

"Oh ya, aku juga."

Tak lama, kami sudah sibuk menghabas tentang novel-novel yang kami baca lalu lanjut membahas tentang film-film yang kami tonton dan topik percakapan kami menjadi semakin berat, mulai membahas tentang ekonomi, topik-topik sosial bahkan politik. Saat berjalan keluar dari restoran, kami masih sibuk berdebat tentang pro dan kontra dari peraturan pajak terbaru yang menyangkut ekspor dan impor.

"Oke, baik, kau punya pandangan sendiri, aku juga, mari kita saling menghargai," tutupku sebelum perdebatan kami menjadi semakin sengit dan tak terkontrol. "Kau ingin pergi ke tempat lain atau kau ingin aku mengantarmu pulang?"

"Lanjut," jawab Emily cepat.

"Mau menonton saja?" tawarku.

"Bagaimana kalau kita pergi bermain golf? Mini golf?" tanya gadis itu dan aku setuju-setuju saja.

Gadis itu yang menentukan tempatnya dan saat tiba, tempat itu ternyata lumayan ramai. Kami kemudian bermain sambil membicarakan tentang novel yang pernah sama-sama kami baca, sambil membahas karakter dan plot hole-nya.

"Let's take a break?" usul gadis itu sambil menunjuk pada bangku yang agak jauh dari lapangan golf mini itu dan mungkin biasanya digunakan oleh para orangtua untuk mengawasi anaknya yang bermain golf. Kami berjalan ke sana lalu duduk.

Emily mendesah lembut saat duduk lalu menoleh untuk menatapku. "Oke, kita hentikan akting ini dulu sekarang. Kau tahu, persis seperti inilah aku mendambakan kencanku. Bersenang-senang sekaligus mengobrol hal yang berbobot. Mengapa selama ini aku tidak pernah mendapatkannya, bukan?"

Aku mengembangkan senyum saat mendengar ucapan tersebut. "Kau hanya belum bertemu dengan pria yang tepat. Tidak semua pria itu berengsek dan egosentris."

"Iya dan dari semua pria yang pernah berkencan denganku, sungguh disayangkan aku menemukan pria impianku dalam diri..."

Aku menghentikannya dengan cepat sebelum Emily mengatakan sesuatu yang akan membuat kami berdua merasa malu. "Kau akan menemukannya. Saat kau melanjutkan ke college, kau akan mendapati bahwa pria-pria di sana berbeda dengan di high school."

"Oh... oke," jawab Emily.

Lalu...

"Kau tahu, dulu ketika aku tahu bahwa ibuku akan menikah dengan ayahmu dan dia memiliki seorang anak lelaki, aku langsung membayangkan seorang pria berengsek yang sombong dan kasar yang mungkin akan memandang rendah pada kami berdua."

Aku tergelak pelan. "Well, dari mana kau mendapatkan pemikiran mengerikan seperti itu?"

Emily juga tertawa. "Aku tidak tahu. Tapi ternyata kau sama sekali tidak seperti itu."

"Kau lega?" tanyaku.

"Saat itu, ya."

"Aku juga memiliki bayanganku sendiri tentang dirimu. Sebelum kita dipertemukan, kupikir kau hanya seorang gadis manja dan membosankan. Aku tidak pernah memiliki adik dan pikiran bahwa aku akan memiliki seorang adik perempuan alih-alih adik lelaki membuatku tidak begitu bersemangat," akuku.

"No way!"

"Tapi setelah mengenalmu, aku tahu bahwa aku salah. Kau berbeda," tambahku segera.

"Baiklah. Kau dimaafkan kalau begitu," ujar Emily sambil menyengir.

"Fair enough."

"Kau tahu apa yang kupikirkan saat pertama kali melihatmu?" tanya Emily kemudian.

"Apa yang kau pikirkan?" Aku bertanya balik karena penasaran.

Jawaban gadis itu sama sekali di luar dugaanku atau sebenarnya aku memang sudah bisa menduganya tapi hanya berpura-pura tidak tahu.

"Bahwa sayang sekali kau harus menjadi kakak tiriku, karena jika tidak, aku pasti akan mengejarmu keliling kota."

Aku terbahak mendengarnya, entah itu untuk menutupi reaksi canggungku atau murni karena aku merasa Emily hanya sedang bercanda dan menggodaku. "Aku tidak tahu kalau kau bisa menjadi begitu agresif, Emily."

"Ya, kan?"

Ada sesuatu dalam nada suara gadis itu, juga ekspresinya ketika menatapku yang menyalakan alarm peringatan di dalam diriku. Aku lalu berdiri dan agak kasar menyarankan pada gadis itu bahwa sudah waktunya dia pulang.

"Kurasa kencan pura-pura ini harus berakhir, Emily. Kuantar kau pulang ke rumah temanmu."

Emily memberengut tak senang. "There you are, lagi-lagi berlagak seperti kakakku."

"Tapi memang itulah aku. Your brother."

Scandalous Love with StepsisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang