Happy reading, semoga suka.
Yang mau baca duluan, bisa ke Karyakarsa ya. Bab 12-13 sudah update.
Luv,
Carmen
__________________________________________________________________________
Setelah akhir pekan itu, aku disibukkan dengan ujian finalku dan aku baru kembali ke rumah setelah ujianku berakhir. Sementara Emily masih memiliki kegiatan sekolah selama dua minggu lagi menjelang kelulusan. Hasil ujian gadis itu sempurna tapi kecerdasannya memang di atas rata-rata, terkadang aku bahkan berpikir kalau Emily yang sebenarnya jauh lebih cocok untuk menggantikan ayahku menjalankan bisnis ekspor impornya sedangkan aku lebih tertarik dengan keuangan dan bermimpi untuk menjadi bankir. Keinginanku itu belum berani kuutarakan pada ayahku tapi niatku untuk melanjutkan kuliahku sangat erat berhubungan dengan hal tersebut.
Senin pagi itu, ketika aku turun untuk sarapan, aku mendapati adik tiriku itu ada di dapur dan sedang menyantap sarapannya. Ayahku sudah berangkat ke kantor sementara ibu tiriku memiliki sebuah toko kue kecil di tengah kota.
"Selamat pagi," sapaku.
"Hei, pagi," sapanya balik dan memberiku seulas senyum cerah.
Aku melirik Emily yang memakan sejenis yogurt non lemak dengan sereal lalu aku membuka rak dapur dan menarik sekotak besar sereal dan menuangkannya ke dalam mangkuk.
"Kau harus ke sekolah hari ini?" tanyaku berbasa-basi sambil menarik kursi dan meletakkan sarapanku di atas meja.
"Ya, masih ada latihan pemandu sorak untuk acara kelulusan nanti."
"Oh." Aku tidak mengerti hal semacam itu, jadi tidak bertanya banyak.
"Kau akan di rumah seharian?" tanya Emily kemudian.
Aku mengangkat bahu ringan dan menjawab apa adanya. "Kurasa. Belum ada rencana apapun. Kenapa? Kau ingin memperkenalkan salah satu temanmu padaku?"
Mendengar hal itu, Emily tertawa pelan. "Kau begitu kesepian tanpa Jennifer, huh?"
"Hanya ingin bersenang-senang sejenak sebelum kuliah Master-ku dimulai, kurasa."
"Apa sih jurusan Jennifer?"
"Mengapa kau bertanya?" tanyaku sambil mengerutkan kening.
"Hanya penasaran," jawabnya.
Aku memikirkannya sejenak sebelum menjawab. "Engineering."
"Oh, wow. Otaknya encer."
"Iya, sepertimu," komentarku.
"Oh, jadi aku mirip dengannya?" goda gadis itu.
"Hanya bagian otak," tegasku.
Dan gadis itu kembali tertawa.
"Kau tahu, aku tidak tahu bahwa kau menyukai wanita yang berotak."
"Kenapa? Apa egoku sebesar itu?" tanyaku sambil menyuapkan kembali sesendok sereal ke dalam mulutku.
"Pria selalu menyukai wanita yang tidak begitu pintar."
"Sarkasme," ledekku.
Gadis itu hanya menyengir.
"Apa kau membenci Jennifer? Maksudku, kalau dari ceritamu, aku bisa menebak bahwa kau sangat menyukainya dan kebersamaan kali selama setahun itu sangat berarti buatmu dan dia memutuskanmu begitu saja, dengan satu panggilan telepon."
"Aku rasa aku kesal dan kecewa. Well, siapa yang tidak, bukan? Kupikir hubungan kami cukup berarti tapi ternyata Jennifer melepaskan semua itu tanpa usaha apapun. Well, mungkin karena aku saja yang terlalu serius. Karena itulah, liburan kali ini aku memutuskan untuk bersenang-senang saja. Jadi kau benar-benar tidak akan mempertimbangkan permintaanku?" tanyaku lagi.
Emily menggeleng tegas. "Tidak. Aku tidak bersedia. Lagipula, aku tidak mengikuti kisah asmara para pemandu sorakku, jadi aku tidak tahu siapa yang masih lajang."
"Baiklah." Aku menyerah. Lagipula aku memang hanya iseng-iseng bertanya.
"Lebih baik kau tidur-tiduran saja di rumah," sindir gadis itu kemudian.
Aku berdecak lembut. "Dan bagaimana denganmu? Sudah menemukan pacar baru? Kau bilang kau menyukai atlet yang cerdas. Yang cerdas saja, atau hanya atlet atau harus kedua-duanya?"
"Kedua-duanya, mungkin?"
"Dasar tamak," ledekku.
Lalu kami berdua tergelak pelan.
"Asal kau tahu ya, aku memang sering berkencan tapi aku belum pernah memiliki seorang pacar, kau mengerti maksudku, bukan?"
"You are joking," ujarku.
"Aku serius."
"Teman-teman sekolahmu begitu mengerikan sehingga kau tidak bisa menemukan satupun orang yang cocok untuk menjadi pacarmu?" tanyaku.
"Bukan begitu. Aku cukup sibuk dengan kegiatan sekolah. Di antara belajar dan bekerja paruh waktu, aku juga berlatih keras sebagai pemandu sorak. Jadi kalau aku ingin menyisihkan waktuku yang berharga untuk seorang pria, dia setidaknya haruslah seseorang yang spesial," jelas adik tiriku itu. "Baiklah, aku harus berangkat sekarang. Bantu aku mencuci piringku?"
"Oke, tidak masalah."
Aku memandang adik tiriku itu sementara dia berjalan meninggalkan dapur. Sulit dipercaya bahwa gadis secantik Emily tidak bisa menemukan seorang pria yang cocok. Tapi mungkin memang standarnya terlalu tinggi. Aku bergidik ngeri ketika membayangkan apa yang bisa terjadi malam tersebut. Syukurnya, Emily baik-baik saja. Kami memang tidak memiliki hubungan darah, aku juga baru mengenalnya selama dua tahun, tapi aku tulus peduli padanya. Bukan saja karena dia cantik – tentu saja itu tidak ada hubungannya – tapi karena aku tahu kalau dia gadis yang baik dan juga selalu berusaha keras untuk semua hal yang ditekuninya, sekolahnya, kegiatan ekstrakulikulernya bahkan pekerjaan paruh waktunya sebagai kasir, semua dilakoni gadis itu dengan baik. Emily benar, dia layak mendapatkan yang terbaik, termasuk pasangannya nanti.