Happy reading, semoga suka.
Full version bisa didapatkan di Playstore dan Karyakarsa.
Luv,
Carmen
____________________________________________________________________________
Jumat pagi keesokan harinya, Emily kembali turun untuk sarapan dengan mengenakan gaun malam sialan itu lagi yang membuatku teringat pada betapa putus asanya aku semalam, saat mencoba untuk memuaskan hasratku yang timbul gara-gara adik tiriku ini.
Tapi Emily tentu saja tidak peduli dengan siksaan yang ditimbulkannya padaku. Dia berniat menggoda, merayuku, berniat bermain dengan api dan dia akan terus melakukannya hingga puas, seperti itulah Emily. Maka dengan ceria, dia menyapaku.
"Halo, kau ada rencana apa di hari off-mu?" tanyanya sambil meletakkan mangkuk sarapannya di atas meja di sampingku.
"Pergi ke gym, lalu membawa minivan ibumu untuk diservis di bengkel lalu mungkin ke rumah teman kerjaku untuk minum dan bermain game," jelasku, mengisyaratkan bahwa walaupun ini day off-ku, aku tetap mempunyai kegiatan seharian.
Tapi Emily dengan mudah mengubahnya untukku. "Aku akan menghabiskan akhir pekanku di rumah temanku lagi di luar kota. Kau bisa mendatangi rumah temanmu Sabtu besok dan berkencan denganku malam ini."
"Tidak, Emily, aku sudah punya rencana lain," jawabku.
"Kalau kau berubah pikiran, beritahu aku. Aku akan menunggumu."
Gadis itu membuntuti dan mengikutiku ke gym, tentu saja. Dan bukannya berfokus untuk work out, aku menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memperhatikan adik tiriku itu. Dan saat seorang pria terus menerus mencoba berbicara dengan Emily sementara gadis itu sudah berkali-kali mengabaikannya, insting melindungiku kembali muncul. Aku mendekati mereka dan menjelaskan pada pria itu bahwa adikku tidak tertarik padanya dan memintanya untuk menjauh. Pria itu memandangku tidak suka tapi tanpa berkata apa-apa, dia berjalan menjauh. Sementara itu, Emily menatapku senang dengan senyum lebar di wajahnya.
"Thank you, Andrew."
Aku hanya mengangguk kecil lalu bergegas menjauh. Saat selesai di pusat kebugaran, aku menolak untuk makan siang bersama gadis itu dan kami kembali ke rumah. Setelahnya, aku membawa minivan ibunya ke bengkel dan ketika sedang makan di diner seberang jalan sambil menunggu minivan itu selesai diservis, teman kerjaku menghubungi.
"Hei, Andrew. Casie meneleponku bahwa dia sakit, jadi aku harus menggantikan shift kerjanya malam ini. Lumayan, tambahan pendapatan. Maaf, rencana kita batal dulu ya."
"Tidak apa-apa," balasku.
"Bagaimana kalau besok saja?"
"Oke, tidak ada masalah." Kami menentukan waktu lalu aku menutup panggilan tersebut.
Jumat malam yang lain dan tidak ada yang bisa kulakukan di kota kecil kami ini. Tentu saja, aku masih memiliki pilihan lain. Aku bisa pergi berkencan dengan adik tiriku – oke, berpura-pura berkencan dengan adik tiriku dan tentu saja, kami pasti akan bersenang-senang.
Lagipula, hanya kencan pura-pura, bukan? Apa masalahnya? Not a big deal.
Ya , terus saja meyakinkan hal itu pada dirimu sendiri, Andrew.
Aku menggeleng mendengar kata hatiku sendiri. Aku hanya terlalu berlebihan, itu saja. Terlalu serius. Jika aku keluar dengan Emily, aku bisa mengajari dan menunjukkan pada gadis itu bagaimana seorang pria baik bersikap, tentu itu sangat bermanfaat untuknya. Setelah semua kencan pura-pura ini selesai, kami akan kembali menjadi adik dan kakak tiri. Aku akan segera pergi ke California dan entah kapan baru akan bertemu kembali sementara gadis itu akan pergi ke college dan memulai kehidupan dewasanya sebagai mahasiswi, bertemu dengan banyak pria sepantarannya dan bekal yang kuajarkan padanya akan berguna di saat itu. Kali ini, dia akan bisa melindungi dirinya sendiri saat aku jauh dari kota ini. Misi selesai.
Tapi masalahnya, aku dan Emily bukanlah saudara kandung dan kami berdua tahu itu. Fakta tersebut akan selalu menggantung menggoda di hadapan kami dan jujur saja, aku tidak bisa lagi bersikap seperti seorang kakak kepada gadis itu. Daripada bersikap seperti saudara tiri, kami lebih bersikap seperti teman yang kini saling tertarik dan hal itu tentu membuatku sangat gelisah.
Kalau begitu jangan pergi, dan mulai dari sekarang jauhi gadis itu, bila perlu pergilah ke California secepatnya.
Aku mendesah pelan. Itu memang terdengar seperti pilihan bijak. Tapi bila aku pergi secepat itu, bukankah Emily tidak akan memiliki siapa-siapa lagi untuk melindunginya?
The hell, Andrew!
Dan lagipula, aku sedang tidak ingin berpikir bijak. Aku juga sedang tidak ingin tinggal sendirian di rumah dan menghabiskan akhir pekan dengan mengunci diri di dalam kamar dan mungkin saja aku akan tergoda untuk menonton film porno dan berfantasi untuk menuntaskan hasratku. Itu sama sekali tidak produktif!
Jadi apa pilihan yang tersisa?
Sepertinya Emily bakal menang.
Hell, yeah. Gadis itu memang selalu menang.
"Hei, Emily," sapaku saat gadis itu menjawab panggilan teleponku. "Temanku tadi baru saja menelepon, rencana kami batal, so I am available tonight."
"Great!" ucap Emily penuh nada kemenangan.
"Aku akan mengirim pesan di mana kita akan bertemu. Mungkin di suatu tempat di dekat restoran yang kemarin kita datangi. Kita bertemu sekitar jam 5.30, oke?"