Shani terdiam saat melihat unit kondominium Gracia yang cukup megah dalam penglihatannya. Gila, ia tidak menyangka jika Gracia mampu membeli kondominium yang sepertinya sangat mahal, terlebih berada di lokasi yang sangat strategis.
"Aku tinggal di sini, ci. Maaf kalo tempatnya nggak gede, tapi aku bisa jamin cici nyaman di sini." Sambil menatap Shani yang masih melongo menatap bangunan tinggi menjuntai ke atas dengan gaya desain parametrik. Tak lupa penataan lanskap yang cukup menarik di sekitaran bangunan. Siapa pun akan merasa takjub dengan keindahannya.
"Seriously, Ge? Nggak gede? Ini bahkan lebih luas dari kantor Cici! Dan kamu tinggal sendirian di gedung segede ini?! Wow!"
Ya, mau bagaimana lagi. Gracia memang sekaya itu hingga ia nekat membeli sebuah unit kondominium berlantai banyak khusus untuk dirinya sendiri.
"Biasa aja sih, ci. Lagian aku suka sama tempatnya, jadi aku beli deh. Masuk, yuk!" Gracia membawa barang-barang miliknya dan milik Shani, sementara wanita itu menyusulnya dari belakang.
"Cici tidur di kamar ini, aku tidur di kamar sebelah. Jadi, kalo cici butuh sesuatu panggil aku aja. Cici masuk gih, istirahat."
"Makasih, Ge." Gracia membiarkan Shani memasuki kamarnya sementara ia tengah berleha-leha di living room.
Kebetulan malam sudah larut dan Gracia pun sudah sangat lelah, ia pun tertidur di atas sofa masih dengan penampilannya sebelum berangkat, alias Gracia tidak mengganti pakaian.
Dan tepat pukul empat dini hari, Shani terbangun dengan rasa haus mendera di tenggorokannya. Ia memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan mengambil segelas air.
Namun saat keluar, ia melihat Gracia masih dengan pakaian utuh lengkap dengan sepatunya tertidur di sofa. Shani yang tidak tega pun dengan sigap mengambil selimut untuk menutupi tubuh Gracia.
"Bisa-bisanya tidur di sofa. Mana masih pake sepatu lagi. Capek banget kayaknya." Gumam Shani yang kemudian melepas sepatu Gracia.
"Kamu emang nggak pernah berubah, Ge. Masih aja tidurnya nggak beraturan gini." Setelah melepaskan sepatu dari kaki Gracia, kini Shani menyelimuti tubuhnya. Kemudian ia beranjak untuk meredakan rasa hausnya.
Setelah selesai ia berniat kembali ke kamar. Namun saat melihat masih terdapat banyak space di samping Gracia, Shani memilih untuk tidur di sebelahnya saja.
"Masih sehangat dulu, Ge." Gumam Shani yang sudah memeluk tubuh Gracia dengan erat dimana ia menjadikan lengan Gracia sebagai bantalan. Sudah lama sekali ia tidak merasakan pelukan sehangat itu. Dan lagi, Shani sangat merindukan aroma tubuh Gracia yang saat ini memenuhi rongga penciumannya.
"Baunya mirip sama kak Zee. Papinya anak-anak aku emang."
Tidak sia-sia ia ikut bersama Gracia, karena menurutnya ini adalah momen terbaik untuk mereka bisa bersama. Walaupun sebelum berangkat Shani harus kucing-kucingan dulu agar tidak terlihat oleh orang tua Gracia saat di bandara, ia tidak masalah. Yang terpenting saat ini Gracia ada bersamanya.
"Soon, Ge. Setelah ini kita akan ngumpul bareng anak-anak. Aku nggak sabar ketemuin mereka sama kamu, papinya."
****
Pagi-pagi sekali Gracia terbangun mendengar suara gaduh dari arah pantry yang jaraknya tidak jauh dari tempatnya berada. Ia melihat Shani yang kini sibuk dengan alat-alat masaknya.
Gracia terdiam memperhatikan Shani yang nampak serius dan sangat lihai menggunakan alat-alat dapurnya seolah ia berada di rumah sendiri.
Bahkan dari jauh aja cantik.
Bukan hanya kemampuan masak Shani yang menjadi fokusnya, tetapi proporsi tubuh wanita itu yang tidak pernah berubah sedikitpun. Padahal Shani hanya menggunakan gaun tidur dengan rambut dicepol asal. Penampilan yang sangat sederhana itu bahkan terlihat sempurna di mata Gracia.