"Positif, Ge!"
Gracia yang berdiri di depan pintu kamar mandi tercengang saat Shani yang baru saja keluar menyodorkan alat tes kehamilan tepat di hadapannya.
Bukan tidak senang, Gracia justru sangat bahagia. Namun menurutnya ini terlalu cepat. Ia bahkan belum merawat si kembar dengan baik. Memberikan kasih sayang yang selama bertahun-tahun tidak mereka dapatkan. Dan sekarang, ia harus membagi kasih sayang itu kepada Gre Junior yang lain.
"Kamu nggak seneng?" Wajah Shani mulai murung. Ia memperhatikan Gracia sedari tadi yang terlihat tidak bersemangat saat ia mengumumkan kehamilannya.
Sadar dengan raut wajah Shani, Gracia langsung menggeleng cepat.
"No! Aku seneng, pake banget! Cuma aku lagi kepikiran aja sama anak-anak. Aku belum sepenuhnya ngerawat dan besarin mereka. Dan sekarang kak Zee sama dek Angel udah mau punya adek lagi. Berarti perhatian aku sama mereka nanti berkurang karna ada adek baru." Giliran Gracia yang menjadi murung.
Shani menghela sejenak dan mengangguk membenarkan ucapan Gracia.
"Iya, tapi aku yakin kamu pasti adil. Selama ini aku belum pernah liat kakak sama dedek rebutan buat narik perhatian kamu. Atau liat mereka berantem karna kamu lebih sayang salah satu dari mereka. Justru yang aku liat anak-anak happy dan nggak kekurangan kasih sayang kamu."
"Terus cici gimana?"
"Loh, kok nanya gitu?"
"Takutnya bukan anak-anak yang ngerasa kasih sayang aku kurang, tapi cici. Buktinya cici pernah cemburu cuma gara-gara aku banyak main sama mereka daripada sama cici."
Shani mengerjap lalu membuang pandangannya sebentar. Ia merasa malu sekaligus gugup karena yang dikatakan Gracia benar adanya. Bahkan ia juga sempat membayangkan bagaimana jika anak ketiga mereka lahir, pasti akan sangat sibuk.
Terutama Gracia yang notabenenya sangat menyayangi anak-anaknya, pasti ia tidak akan pernah absen dalam merawat dan memantau tumbuh kembang mereka. Dan pastinya Shani akan dianggurin seperti sebelum-sebelumnya, lebih parahnya lagi waktu mereka untuk berduaan akan sangat sedikit.
Membayangkannya saja membuat Shani merasa cemburu.
"Cici kenapa? Kok, mukanya merah?" Gracia menarik dagu Shani dan memperhatikan setiap inci wajah cantik itu hingga Shani pun salah tingkah.
"Ng-gak papa, kok!" Shani menurunkan tangan Gracia dari dagunya dan mencoba menormalkan kondisi wajahnya yang saat ini tengah menahan malu.
"Cici nggak usah khawatir. Rasa sayang aku ke cici sama anak-anak itu sama besarnya. Bahkan aku lebih sayang kalian daripada diri aku sendiri." Gracia menggenggam kedua tangan Shani. Memastikan jika ucapannya itu benar adanya.
"Maaf. Aku kayak anak kecil, ya? Aku cemburu sama anak sendiri." Shani menunduk sedih.
"Nggak, kok. Bukan cuma cici yang pernah cemburu sama anak-anak, tapi aku juga pernah dan sering banget cemburu setiap aku mau ngobrol berdua sama cici. Cici lebih milih main sama kakak atau dedek daripada aku."
Shani langsung mendongak menatap Gracia yang saat ini tengah tersenyum ke arahnya.
"Kita emang udah dewasa, tapi sifat kekanak-kanakan itu masih ada. Dan aku nggak keberatan dengan itu. Selagi kita masih bisa ngontrol, kenapa nggak? Yang terpenting kan, kita sama-sama terus."
Shani mengembangkan senyumnya. Ia tidak tahu kapan Gracia bisa sebijak ini. Bahkan mungkin sekarang Gracia lebih dewasa daripada dirinya.
"Aku jadi malu deh, sama babynya. Padahal lebih tua aku daripada kamu. Tapi justru aku yang keliatan kayak anak kecil. Pasti dia lagi ngetawain maminya di dalam perut!"