prolog

87 39 2
                                    

Hari minggu yang cukup indah dengan nuansa taman pagi yang penuh kesejukan. Beberapa pohon rindang menjadi tempat berteduh kepenatan, rumput hijau terhampar lembut penuh embun menyegarkan seakan alam ingin menghibur manusia dari kepenatan. Semua indah dengan goresan masalah tak terkecuali cewek yang duduk di bawah pohon yang berhadapan langsung dengan kolam ikan. Dunia mungkin sedang menguji jalan hidupnya. Tak lama dia memandangi alam didepannya, seorang cowok dengan setelah olahraga yang menutupi kaki jenjangnya ditambah hodie dongker dan topi hitam melengkapi penampilan kerennya. Dia menjulurkaan botol air minum pada cwek itu, sangat dekat karna mereka sepasang kekasih yang sedang beradu dengan nasib.
“makasih,” ucap Elfi . cewek yang notabenenya adalah kekasih si cowok keren bernama Vandi.
Mereka sengaja janjian bertemu di taman untuk meminimalisir bocornya informasi pertemuan mereka. Beberapa detik belalu tanpa ada yang memulai pembicaraan, saling menatap langit yang  kosong.
“El,” panggil Vandi membuat si empunya menoleh. “Bagaimana keadaan orang di rumah? Sehat semua?”
Elvi hanya tersenyum seakan mengisyaratkan sebuah kode bahasa. “Entahlah,” ucapnya setelah mengambil nafas panjang. Lalu dia kembali menatap ke depan dengan sendu.
“Aku pikir cuman dirumah yang sudah berubah suasananya.” Vandi menunduk pasrah. “Rumah bukan lagi tempatku pulang, jujur aku sangat butuh kehadiran mu, El.” Dia mencoba mengutarakan apa yang selama ini belum tersampaikan. Siapa yang tak rindu jika harus dipisah oleh hati dalam balutan cinta seperti mereka. Akan ada banyak cobaan yang menguji jalan sebuah hubungan tapi saling menguatkan dan terbuka akan meringankan beban keduanya. Namun sayangnya banyak yang tidak mengerti akan hal sepele itu.
“Aku bisa apa? Sekalipun rumah sudah bukan lagi tempat berpulang aku lebih sering datang ke makan bunda, karena cuma disana aku merasa bunda hadir dan hibur aku.”
“maafin aku yaa! Mungkin jika hari itu aku membiarkan cinta ini tak tersampaikan, kehidupanmu tidak akan serumit ini,” sesalnya dengan penuh rasa gelisah yang campur aduk.
“Gak papa kok, lagian kan ini juga bagian dari keputusan aku untuk mencintai mu. Mungkin ini yang harus kita hadapi.” Dia teringat sebuah pesan dari almarhumah bundanya. “Bunda pernah berpesan padaku satu hal,” ucapnya menoleh pada Vandi yang cukup antusias. “Mencintailah saat kau merasa sudah cukup dewasa karna tantangan mencintai itu sangat berat tapi ujungnya penuh senyuman. Diujung itu ada sebuah kebersamaan yang indah tapi terkadang kebersaan itu bukan di dunia tapi di alam lainnya.” Begitupun dia teringat jika bundanya meninggal dalam kesetiaan cinta yang entah dimana ujung kebersamaan yang bundanya percaya itu.
“Ayah juga mengatakan hal yang sama, jika perjuangan cinta itu tidak akan selesai jika belum sampai pada kebersamaan, tapi sayangnya mereka seakan menghianati kisah cinta mereka sendiri.”
“Cukup! Bunda tidak pernah menghianati cintanya.” Elfi begitu marah ketika ada yang menghina bundanya.
“Ini kenyataan El.”
“Cukup! Pergi sebelum aku benar-benar menbencimu!”  Elfi tak lagi mampu melihat wajah Vandi. Terdengar langkah kaki Vandi pergi meniggalkan dirinya yang kini penuh air mata, wajahnya sembab. Dia kini terduduk dengan memeluk kedua lututnya menyembunyikan wajahnya yang penuh air mata. Batinnya tak menyangka jika ternyata Vandi juga akan menyalahkan bundanya padahal hatinya sangat yakin jika bundanya tidak salah dalam hal ini.
“Kenapa rasanya sakit banget?” rancaunya dalam tangis yang tidak terbendung. “Orang yang harusnya berada dipihakku ternyata ikut menjatuhkan ku,” lanjutnya disela tangisan.
“Elfi!” sebuah suara yang tak asing menyapanya. Elfi langsung menoleh ke arah suara. “Kamu kenapa nangis?”

Terhalang Dendam (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang