𝙲𝙷𝙰𝙿𝚃𝙴𝚁 𝚇𝚅𝙸𝙸

6 1 0
                                    

MACAN PUTIH
«»

"Aku Ibru."

Kehangatan dalam selimut wol lembut berubah diserang rasa dingin tak berkesudahan seperti tak memiliki pakaian memadai. Ketika Kim membuka mata, telinganya kembali menangkap suara familiar yang sukses membuat bulu kuduk merinding.

Mawar berwarna biru dengan pendar dalam kegelapan berdiri tegak di atas hamparan salju.

"Mimpi itu lagi?!" pekik Kim dalam hati, "dingin!"

Tentu saja laki-laki itu mengingat akhir dari mimpi aneh yang ia alami, diterkam binatang buas berbulu hitam putih. Gelap memang, tapi siapa saja pasti kelihatan warna kontras hitam dalam gelap, yakni putih.

Lagi-lagi suara itu kembali, bergaung layaknya bunyi dalam wadah. Menyebut kalimat sama berulang-ulang. Tidak ada seorang pun di situ, Kim memeluk dirinya sendiri sembari mengutuk, mengasihani diri sendiri sebab telah terjebak dalam mimpi tidur yang buruk.

Pemuda itu menatap bunga mawar dengan kesal, suara yang berdatangan terus mengatakan kalimat yang sama. Aku Ibru, Aku Ibru.

"Kau, Ibru!" ucapnya bergemelatuk menahan dingin. "Baiklah, sulit dipercaya bahwa tumbuhan bisa berbicara. Tapi, aku yakin itu suaramu.

"Mawar biru! Lupakan lelucon ini dan keluarkan aku dari dalam mimpi. Sebelum aku mati diterkam binatang buas putih itu. Ngomong-ngomong di mana dia? Syukur hewan itu tak ada."

"Siapa bilang aku tidak ada, manusia?"

Demi apa pun, Kim membatu. Seekor macan besar keluar dari kegelapan, angin malam berembus pelan, namun terasa menusuk pori-pori kulit.

Kim menelan ludah, baru kali pertama ia melihat macan secara langsung. Tanpa sadar lelaki itu telah berjalan mundur sebagai isyarat untuk menjauh. Macan besar itu melangkah maju, tapak lebarnya menginjak salju dan membuat jejak yang dalam.

Lupakan tentang dinginnya tempat itu, jantung Kim serasa ingin melompat, bulir peluh mengalir di pelipis tatkala mata hitamnya beradu pandang dengan lensa kuning sang macan. Macan atau harimau itu sama, hanya berbeda tempat hidupnya saja.

"Oh, Tuhan. Ku mohon tolonglah," gumamnya lirih. Jangan sampai adegan terakhir kali itu terjadi lagi.

"Kau takut aku akan memakanmu?" Suara berat macan sukses membuat Kim bergidik. Baiklah, tidak hanya tumbuhan, hewan saja bisa bicara di sini.

Demi apa pun, geraman sang macan membuat Kim mati rasa, ia ingin menjerit.

Pemuda itu menutup mata saat macan itu menerjang tubuhnya hingga ia terjatuh. Tapi, kenapa ia tak kunjung bangun dari mimpi?

Hamparan salju nan empuk terasa begitu dingin kala malam. Kim tak tahu lagi harus bagaimana, tapak besar dan tebal itu masih menyentuh dadanya. Energi untuk bicara saja sudah menghilang, tapi ... eh?

"Bangun."

Kim mengerjap-ngerjap, dia tak jadi dimangsa? Pandangan laki-laki itu tertuju ke atas, di mana langit dan sekitarnya masih menggelap. Satu-satunya sumber cahaya di tempat itu hanyalah pendar kebiruan bunga mawar.

Macan itu memanggilnya lagi.

"Bangun, atau aku akan memakanmu."

Sontak Kim berdiri tegak bagai patung.

"Kemarilah," ajak macan itu. Bak dihipnotis, Kim berjalan ke arah mereka.

"Ingat baik-baik, manusia." Binatang berbulu hitam putih itu mengelilingi Kim. "Sebelum kau kembali."

Kesadaran laki-laki itu hampir memudar, tubuhnya gemetar saking takutnya.

"Kami ... menunggu-" Ia tidak mendengar jelas ucapan itu.

AFREENEIA: The Mystical FlowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang