04. blush

940 46 2
                                    

"Khadijah boleh nanya, Gus, Umi, Abi?"

Gus Ibra mengangguk, begitu juga dengan yang lainnya.

"Khadijah mau keliling pesantren ini, boleh nggak?"

Gus Ibra, Umi Farida, dan Abi Zulfikar terkekeh kecil mendengar pertanyaan Khadijah. Gadis itu mirip anak kecil yang sedang meminta izin untuk bermain siang hari.

Umi mengangguk. "Boleh dong, tapi nanti kelilingnya sama Gus Ibra ya? Takutnya kamu hilang," canda Umi.

Khadijah mengangguk antusias. Gadis itu menoleh kearah Gus Ibra sambil tersenyum lebar. "Ayo Gus!" ajak Khadijah dengan penuh semangat empat lima.

"Jangan sekarang dong, emangnya kamu nggak capek baru datang langsung jalan-jalan?"

Khadijah menggeleng. Rasa senangnya lebih besar daripada rasa lelahnya. Melihat Khadijah yang begitu exited, Gus Ibra mau tidak mau mengiyakan ajakan Khadijah untuk berkeliling pesantren saat itu juga.

Sepasang suami istri itu berjalan beriringan mengelilingi pesantren Firdaus. Senja yang jatuh diujung halaman pesantren itu membuat kesan romantis semakin bertambah, apalagi genggaman tangan Khadijah yang tidak pernah lepas dari ujung baju Gus Ibra. Gadis itu selalu menolak jika ingin digandeng tangannya oleh Gus Ibra, Khadijah lebih memilih untuk menggenggam ujung baju laki-laki itu ketimbang tangannya.

"Padahal, tangan saya lebih halus daripada baju saya."

Khadijah menghembuskan nafasnya lelah. Gadis itu melepaskan tangannya dari ujung baju Gus Ibra. Langkahnya berhenti disalah satu bangku panjang yang berada di taman pesantren ini.

"Kenapa malah duduk disitu?" tanya Gus Ibra.

Khadijah meluruskan kakinya yang sangat pegal. Benar kata Umi, seharusnya dia tidak jalan-jalan sekarang, tapi karena rasa penasarannya yang sangat besar dengan pondok pesantren ini, gadis itu memaksa Gus Ibra untuk menemaninya sekarang.

"Capek, ternyata pondoknya gede juga."

Gus Ibra terkekeh. Menyusul Khadijah yang sedang memijit lututnya sendiri. Laki-laki itu duduk disamping Khadijah, menatap wajah Khadijah yang nampak kelelahan karena berjalan mengelilingi pesantren.

"Yaudah, istirahat aja dulu."

Khadijah mengangguk menurut. Gadis itu tidak tau harus menjawab apa. Untuk pertama kalinya Khadijah berduaan bersama lawan jenis di tempat sepi seperti ini.

"Saya boleh nanya ke kamu?" tanya Gus Ibra membuat Khadijah menoleh.

"Nanya apa?"

"Maaf sebelumnya kalau mungkin pertanyaan ini membuat kamu nggak nyaman. Tapi, saya bener-bener nggak bisa nahan rasa penasaran ini Khadijah!"

"Iya Gus, nanya apa?" geram Khadijah.

"Zai itu siapa?"

Khadijah mengerutkan keningnya. Kenapa tiba-tiba Gus Ibra bertanya seperti itu? Darimana Gus Ibra mengetahui nama Zai? Apa mungkin Gus Ibra pernah mendengar Khadijah menyebut nama Zai?

"Kalau kamu nggak mau jawab gapapa-"

"Itu sahabat saya. Namanya Zainab, satu-satunya sahabat yang saya punya di Jakarta." Khadijah memotong ucapan Gus Ibra.

"Satu-satunya?"

Khadijah mengangguk.

"Iya, saya dari dulu nggak suka punya banyak temen. Saya lebih mending punya satu sahabat yang ngertiin kita, daripada punya banyak teman yang ujung-ujungnya ninggalin kita waktu kita lagi susah."

Gus Ibra terkekeh mendengar ucapan Khadijah. Gadis itu terlalu menutup diri dari orang lain. Pantas saja, susah sekali meluluhkan hati Khadijah ini. Tidak apa-apa, itu artinya Khadijah adalah seorang perempuan mahal yang tidak bisa dengan mudah didapatkan oleh sembarang orang. Dan Gus Ibra, adalah manusia paling beruntung yang bisa memiliki Khadijah.

Gus Ibra My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang