"Gus Ibra marah sama Khadijah?" Gadis itu masih dengan posisi yang sama. Masih menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Gus Ibra yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Kita bahas nanti." Khadijah mendongak, baru kali ini dia mendengar ucapan datar dari Gus Ibra. Apa mungkin suaminya ini benar-benar marah dengannya? Semoga saja tidak.
Khadijah beranjak dari duduknya, gadis itu mengambil ponsel miliknya yang berada di atas kasur. Seratus lima puluh tiga pesan dari Gus Ibra dan tiga puluh panggilan tak terjawab. "Gus Ibra maaf, tadi-"
"Kita bicarakan nanti Khadijah, sekarang kita berangkat ke masjid!"
Ini bukan Gus Ibra yang Khadijah kenal. Gus Ibra yang Khadijah kenal tidak segalak ini, dia selalu baik dan bersikap manis. Ingin sekali Khadijah menangis, namun gadis itu tahan. Tidak mungkin dia menangis sekarang, bisa-bisa Abi dan Umi heboh nanti.
Khadijah berjalan mendahului Gus Ibra. Biasanya, dia akan menggenggam ujung baju koko Gus Ibra. Tapi sekarang tidak. Dia lebih memilih untuk jalan sendiri. "Abi sama yang lainnya udah duluan, kita langsung ke masjid aja."
Khadijah mengangguk. Gadis bergamis biru muda itu langsung keluar dari ndalem. Gus Ibra hanya bisa menghembuskan nafasnya melihat tingkah istrinya tersebut.
Khadijah berjalan sambil menundukkan kepalanya. Gus Ibra masih berada dibelakang, karena Khadijah sengaja agar tidak berangkat bareng. "Aduh..." ringis Khadijah kala bahunya tidak sengaja bertabrakan dengan santri lain.
"Jalan hati-hati." Gus Ibra langsung merangkul pundak istrinya. Laki-laki itu rela menabrak santri lain agar istrinya aman. Khadijah lagi-lagi hanya diam. Gadis itu tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.
Sampai di depan masjid, Gus Ibra langsung meninggalkan Khadijah begitu saja. Tidak seperti biasanya yang selalu menunggu gadis itu masuk terlebih dahulu. Khadijah menghembuskan nafasnya pelan. Ini baru cobaan pertama yang dia rasakan. "Jangan nangis!"
•••🌷•••
Setelah sholat maghrib berjamaah selesai, seperti malam-malam sebelumnya, para santri akan membaca Alquran bersama-sama sebelum nanti dilanjutkan dengan sholat isya berjamaah. Khadijah tentu saja ikut, berkumpul dengan santri-santri adalah kegiatan favorit Khadijah sejak kecil. Apalagi sambil menghafal bersama-sama.
"Ning Khadijah!"
Khadijah menoleh kearah salah satu santri putri yang menghampirinya. Khadijah menaikkan kedua alisnya. "Iya, kenapa?"
"Sudah ditunggu Gus Ibra di depan," ucap santriwati tersebut. Khadijah berfikir sejenak, tumben sekali Gus Ibra mengajaknya pulang setelah sholat maghrib, biasanya laki-laki itu akan pulang jika sudah sholat isya dilakukan.
"O-oh iya Naf, makasih ya! Saya permisi dulu, Assalamu'alaikum!" Khadijah langsung melipat sajadah hitamnya, tanpa melepas mukena terlebih dahulu tentunya. Gadis itu berjalan menghampiri Gus Ibra yang tengah asik mengobrol dengan Ustadz Hanan di depan masjid.
"Assalamu'alaikum."
"Walaikumsalam," jawab Gus Ibra dan Ustadz Hanan bersamaan. Khadijah mengangguk sopan kearah Ustadz Hanan sebagai sapaan, laki-laki itu langsung membalasnya dengan senyuman. Interaksi antara Khadijah dan Ustadz Hanan itu tidak luput dari pandangan Gus Ibra. Hati laki-laki itu seketika memanas.
"Yasudah Tad, saya pulang dulu ya sama istri saya!" ucap Gus Ibra sambil menekankan kata istri. Ustadz Hanan menganggukkan kepalanya. "Iya Gus, hati-hati!"
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalam."
Gus Ibra buru-buru menggandeng tangan Khadijah. Mengajak gadis itu berjalan lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa dia bisa se cemburu itu dengan Ustadz Hanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gus Ibra My Husband
أدب المراهقينNikah muda sama sekali bukan tujuan hidup Khadijah. Apalagi menikah dengan seorang Gus pilihan Ayahnya. Rey Ibrahim El Malik. Seorang putra Kyai salah satu pondok pesantren terkenal. Laki-laki tinggi, dengan alis tebal, dan rahang kokoh. Pahatan waj...