"Semuanya udah siap kan Mas? Alqurannya udah dibawa kan? Kopernya udah di masukin semuanya? Hadiah-hadiah buat para santri disana udah?"
Khadijah kembali berjalan kesana kemari, memastikan bahwa semua barang bawaan mereka sudah dimasukkan kedalam bagasi mobil. Dan tentunya tidak ada yang tertinggal. Lain dengan Khadijah yang ribet sendiri, Gus Ibra justru masih bersantai ria sembari menikmati kopi nya yang masih terasa panas.
"Udah semuanya Adek, kita nanti tinggal berangkat. Tenang aja..." ujar Gus Ibra dengan sangat santai.
Khadijah bernafas lega. Wanita itu duduk di samping suaminya yang tengah menikmati kopi pagi buatannya. "Mas, Adek nggak pernah liat Mbah Yai beberapa hari ini."
"Emangnya kamu nggak kesana?"
"Nggak, kemarin waktu Adek kesana... Mbah Yai nggak ada, katanya lagi ikut kajian dia masjid sebelah."
Gus Ibra mengangguk paham. Pria itu meletakkan gelas kopi yang sudah tidak lagi berisi. "Yaudah, nanti kita kesana sekalian pamit ya?!"
Khadijah mengangguk, kemudian beranjak dari duduknya. Wanita itu mengambil tas selempang mini berwarna hitam yang berada di atas kasur. Sebelum akhirnya wanita itu menyusul suaminya yang sudah keluar terlebih dahulu.
"Umi!" panggil Khadijah, ketika netra matanya melihat seorang wanita tengah duduk di teras rumah.
"Udah mau berangkat Ning?"
Khadijah mengangguk. "Udah Umi, tinggal pamit sama Abi dan Mbah Yai."
Umi mengangguk paham. Wanita itu langsung mencium kening serta pipi menantunya tersebut. Kemudian, saling berpelukan. "Mas Ibra udah pamitan sama Umi?" tanya Khadijah.
"Udah... sekarang dia lagi nyariin Abi, kamu tunggu disini aja!"
Khadijah menurut. Wanita itu duduk di samping Umi. Menunggu Gus Ibra kembali.
"Assalamu'alaikum!"
"Waalaikumsalam."
Gus Ibra langsung merangkul tubuh Khadijah. Keduanya lalu berpamitan dengan Abi dan Umi, sebelum akhirnya mereka pergi menemui Mbah Yai yang berada di rumah seberang.
"Ngati-ati Le, titip salam kanggo kabeh ya!"
Gus Ibra mengangguk paham, sementara Khadijah hanya mengangguk saja. Sudah tiga bulan lamanya Khadijah tinggal di Jawa, namun dia belum mengerti bahasa Jawa, mungkin janga beberapa kosakata saja.
Setelah bersalaman dengan Mbah Yai, Gus Ibra dan Khadijah langsung berangkat menuju Surabaya. Tepatnya di salah satu pondok pesantren teman Gus Ibra.
•••🌷•••
"Teman-teman Gus Ibra kesana semuanya?"
Gus Ibra menggelengkan kepalanya. "Nggak, Gus Farid nggak bisa hadir karena ada acara penting katanya."
Khadijah mengangguk paham. Wanita itu kemudian meraih tangan kiri Gus Ibra yang tengah menganggur. Merasa tangannya di genggam oleh Khadijah, Gus Ibra menoleh kearah istri tercintanya.
"Kenapa?" tanya Gus Ibra sembari tersenyum manis.
Khadijah menggeleng. "Nggak, cuma pengen pegang tangan aja. Nggak boleh?" sewot Khadijah.
"Boleh kok istriku... nih, pegang sampe kapalan juga gapapa!" ujar Gus Ibra.
Khadijah tersenyum. Dengan senang hati wanita itu menggenggam tangan suaminya. Tidak terasa sudah tiga bulan lamanya mereka bersama dalam sebuah ikatan suci. Khadijah kira, pernikahan ini tidak akan pernah bertahan. Namun ternyata itu semua salah. Pernikahan yang tadinya tidak pernah Khadijah harapkan, membuatnya bertemu dengan sosok laki-laki terbaik yang sekarang menjadi suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gus Ibra My Husband
Teen FictionNikah muda sama sekali bukan tujuan hidup Khadijah. Apalagi menikah dengan seorang Gus pilihan Ayahnya. Rey Ibrahim El Malik. Seorang putra Kyai salah satu pondok pesantren terkenal. Laki-laki tinggi, dengan alis tebal, dan rahang kokoh. Pahatan waj...