Jerella ; 05

621 119 21
                                    

Benar kata orang, hati manusia terlalu dalam untuk bisa diselami. Siapa yang tahu bukan? Di balik ketenangan dirinya itu, mungkin jiwanya sedang menjerit. Bahkan orang yang biasanya terlihat baik-baik saja, bisa menjadi orang yang paling penuh luka. Tapi Victor juga tidak mau menjudge Jerella seperti itu dan begitu saja. Ia akan merasa berdosa jika melakukannya.

"Tuan, jangan diam saja. Makan lagi mienya." Jerella terdengar berbicara.

"Pasti." Namun Victor yang tengah terdiam itu tidak juga melanjutkan makanannya. "Tapi aku masih punya pertanyaan. Aku ingin tahu lebih jelas, sebenarnya siapa namamu?"

"Jerella."

"Maksudku," apa mungkin dia tidak paham akan maksudnya? Apa harus dirinya perjelas juga? Victor mendesah pelan. "Maksudku, lalu Jane itu siapa? Do you have a twin?"

Dari sekian banyaknya persoalan, ini juga tidak kalah penting untuk diluruskan, menurut Victor. Karena dengan mengetahui identitas Jerella, ia telah memprotec putranya dengan lebih baik. Ia bukan berarti tidak percaya kepadanya. Dirinya bahkan sangat percaya, entah kenapa hatinya bisa begitu yakin jika Jerella pasti lah wanita baik-baik. Namun tetap saja agar ia merasa jauh lebih yakin, ia harus tahu dengan pasti tentang kebenaran siapa wanita itu.

"No, I don't." Jerella menarik nafasnya. "Jane ... itu nama yang orangtuaku berikan. Jadi nama asliku adalah Jane. Di sini aku telah mengawali hidupku yang baru. Karena itu aku hidup dalam identitas yang baru juga. Dan tak banyak orang yang tahu tentang ini."

"Jadi keduanya benar?"

Jadi Jackson sungguh bagian dari masa lalunya?

Jerella mengangguk samar. "Tuan bisa panggil aku apa saja. Aku tidak akan keberatan. Tetapi alangkah baiknya jika Tuan tetap memanggilku Jerella. Rasanya jauh lebih baik, dan nyaman juga untuk kudengar."

"Tentu, aku memang akan tetap memanggilmu Jerella. Aku juga merasa ... kau memang lebih cocok dengan nama itu." Pendapatnya. Victor mengulum bibirnya. "Maaf ya, malam ini aku jadi banyak bertanya."

Jerella terkekeh. "Tidak juga, Tuan."

"Boleh kukatakan satu pertanyaan lagi?"

Jerella mengangguk. "Ya, boleh saja."

"Apa kau punya keluarga di sini? Setidaknya seseorang untuk kau temui?"

Jerella tampak terdiam lama sebelum bibirnya tersenyum cukup kecut. "Ada. Tetapi aku tidak tahu ada di mana mereka sekarang."

"Sungguh?"

Victor terkejut, aneh, bingung. Coba pikirkan bagaimana bisa seorang anak tidak tahu di mana kedua orangtuanya? Atau saudaranya? Apa Jerella dari panti asuhan?

Jerella mengangguk kecut.

"Kau baik-baik saja?"

"Ya." Jerella mencoba baik. Dan Victor tahu itu bohong. Perubahannya sangat kentara hingga ia jadi ingin tahu, beban apa yang sebenarnya tengah dia pangku? Atau rahasia apa yang sedang dia tutupi?

"Bagaimana bisa kau tidak tahu mereka ada di mana? Kau meninggalkan mereka juga?"

"Mana mungking!" tungkas Jerella tegas. Dia lalu menghela nafas berat. "Tuan, maafkan aku, tapi aku tidak bisa menjawab lebih dari ini. Aku tidak ingin kita membahas ini untuk sekarang. Aku tidak senang. Tolong Tuan mau mengerti perasaan tidak nyamanku ini."

Seorang atasan juga punya batasan. Dan Victor tahu di mana garis batasnya. Ia tidak memaksa Jerella untuk bercerita lebih, atau mengungkap sesuatu yang dia ingin dengar. Apalagi setelah Jerella berkata tentang ketidak nyamanannya.

JerellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang