"Dia setuju untuk datang, 'kan?" Gadis itu mengangguk. "Lalu apalagi? Kenapa kau belum bersiap?"
Jerella terdiam bingung. Bingung dengan perasannya sendiri yang gundah tak menentu. Ini pilihannya, tapi ia sendiri yang ragu dengan pilihannya ini.
"Aku ... aku akan bersiap sekarang."
Jerella memunggungi Victor untuk pergi bersiap, meski hawanya begitu malas dan berat. Tapi apalah daya, keadaan seperti tak dapat direm sehingga ia harus tetap melangkah dan mempersiapkan dirinya.
Selang beberapa menit, Jerella keluar dari kamar dan bertemu Victor yang datang dari arah kamar putranya.
"Kau sudah siap?" Pria itu meyakinkan. Ia padahal bisa melihatnya sendiri.
"Iya Tuan."
"Aku antar. Aku sudah mengecek Prince dan dia masih tidur dengan nyenyak." Jadi untuk beberapa menit ditinggal, sepetinya tidak akan menjadi masalah. "Lagipula, aku memang akan membeli sesuatu. Jadi kita sekalian saja, berangkat bersama."
Tawarannya terdengar bagus meski bukan itu yang ingin didengar Jerella. "Aku akan ambil tas dulu."
"Aku tunggu di bawah."
Jerella kembali masuk kamar dan Victor turun ke halaman di mana di sana ia menunggu gadis itu sambil bersandar pada mobil. Setiap kali melihat jarum jam tangannya berputar, jantungnya semakin berdegup kencang. Ia benar-benar takut dengan malam ini sejujurnya. Takut jika ini lah akhir dari kisah mereka.
"Tuan!"
Victor menoleh membuat kedatangan Jerella berhasil menarik tatapannya.
"Oh, kau sudah siap?" Basa-basinya. Dan jujur saja, baru kali ini ia merasa wanita bersiap dengan cepat. Padahal harusnya ia pura-pura lupa menyimpan tas, atau hal lainnya yang membuat waktu terbuang lebih banyak. "Ayo!" ajak Victor kemudian.
Jerella mengangguk dan masuk ke mobil pria itu seiring pemiliknya yang juga masuk ke kursi driver. Mereka mulai duduk dan mencari bagian ternyaman sebelum akhirnya melaju setelah seatbelt terpasang ke dada mereka.
"Apa Alex sudah di sana?"
"Aku tidak tahu," jawab Jerella yang terus menunduk memainkan jemarinya.
"Kalian tidak saling memberi kabar?"
"Kami tidak saling menyimpan nomor."
Yang benar saja?! "Kenapa tidak? Oh, aku mengerti. Kalian pasti lebih sering bertukar pesan di media sosial, kan?"
Jerella tersenyum simpul. Lucunya, itu juga tidak mereka lakukan. "Tidak juga. Kami hanya bicara ketika kami bertemu di toko."
Sepertinya Jerella jatuh cinta pada Alex di pandangan pertama mereka bertemu, sehingga tanpa ada nya komunikasi online, dia tetap menyimpan perasaan. Itu yang dipetik Victor dari percakapan tadi.
"Begitu, ya."
Victor lalu menginjak rem ketika sampai di pinggir jalan, di mana sebelahnya adalah restoran yang sudah ia rekomendasikan sendiri kepada Jerella. Bahkan ia juga yang menanggung semua pembayaran yang mana itu tidak lah sedikit.
Mungkin orang yang tahu kelakuannya ini pasti akan menganggapnya bodoh. Pria terbodoh karena mendukung orang yang dicintainya bersama pria lain. Ia pun tahu ini sangatlah konyol. Tapi apa boleh buat? Saat tahu ini sangat membantu Jerella untuk tetap hidup di daratan bumi ini, dan melepaskannya dari kutukan, cintanya terpaksa harus mengalah demi gadis itu tetap bertahan.
Setidaknya, mereka masih bisa satu udara, meski nafasnya bukan untuk hidup bersamanya.
"Terimakasih Tuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerella
Fanfiction[Completed]. ... Victor menyadari, jika dia telah jatuh cinta pada pengasuh putranya sendiri. Namanya Jerella. Gadis baik dengan pola pikirnya yang dewasa, karena itu dalam sesaat Victor mampu terkagum kepadanya. Namun ketika satu persatu rahasia te...