Lust

174 13 35
                                        

Hilltop house--seperti namanya--itu adalah sebuah rumah bertingkat dua yang dibangun di puncak bukit. Ukurannya cukup besar dengan desain modern industrialis. Sentuhan-sentuhan kayu di berbagai sisi membuat suasana rumah itu sangat nyaman untuk ditinggali. Dilatarbelakangi oleh pegunungan Andes yang hijau, sedangkan teras depannya yang cukup tinggi membuat penghuninya bisa melihat langsung pemandangan pantai berbatu-batu yang berjarak kurang lebih lima puluh kilometer di depan sana. Jalan kecil dari pintu gerbang pagar meliuk-liuk ke bawah seperti pita hitam, menjadi penghubung satu-satunya antara hilltop house dengan jalan raya yang menjulur di sepanjang pesisir.

Permukaan samudra Pasifik yang berwarna biru gelap membentang luas di depan pantai, pulau-pulau kecil di sekitar situ belum terlihat jelas karena masih diselimuti kabut. Matahari baru sepenggalan muncul di balik pegunungan, hawa dingin pun belum melindap, karena ini masih jam enam pagi.

Sudah lima menit Jiang Ning berdiri di teras rumah, menyandarkan lengan pada bagian atas tembok pembatas dengan tubuh dibungkus selimut. Di dekat lengannya terdapat segelas kopi yang masih mengepul. Tembok pembatas teras itu sedikit lebih tinggi dari pinggangnya, dihiasi beberapa tanaman yang dirawat dalam pot, juga vertikal garden yang merambat sampai ke bawah. Semua tanaman itu dirawat dengan sangat baik.

Jiang Ning memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ketika membuka mata, semburat kelegaan terlihat jelas di wajah cantiknya yang belum tersentuh riasan apa pun.

"Ekhem ....."

Suara deheman membuat gadis itu sontak menoleh ke belakang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara deheman membuat gadis itu sontak menoleh ke belakang. Ternyata kakaknya William sudah bangun. Bahkan penampilannya sangat rapi, tampak siap untuk pergi ke suatu tempat.

"Berangkat sepagi ini?" tanya Jiang Ning .

"Ada pertemuan dengan klien jam 8 pagi, sebelum itu juga harus ada briefing dulu di kantor," jawab William.

Jiang Ning mengangguk paham, kakaknya juga bekerja di Los Angeles, seperti dia dan ayah ibunya. Jika ada pertemuan penting di pagi hari, seharusnya memang berangkat lebih awal.

"Kalau begitu kenapa masih di sini? Pergi sana."

"Tapi aku haus," dengan santainya William mengambil secangkir kopi milik Jiang Ning pembatas lalu menyeruputnya perlahan. Tampak dia sangat menikmati kehangatan minuman itu.

"Hei, itu kan punyaku! Kalau mau kopi buat sendiri dong!" Jiang Ning melayangkan protes dengan wajah merengut.

"Aahh, enak sekali," William meletakkan cangkir kopi di tempatnya semula. Dia tersenyum jahil mendapati raut kekesalan di wajah adiknya.

"Jangan cemberut pagi-pagi, nanti tambah jelek," goda William.

"Bodoh!" sahut Jiang Ning dengan ketus.

"Terima kasih kopinya," sekali lagi William menggoda sang adik dengan mengacak-acak rambutnya, lalu bergegas turun ke garasi untuk mengeluarkan mobil.

"Hiiihhh," Jiang Ning makin kesal, ingin sekali menimpuk kakaknya dengan sepatu bot, tapi dia hanya merengut menatap cangkir yang sudah kosong.

REBLOOM (Zhang Linghe & Bailu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang