Sorry

149 12 26
                                        

Jejak-jejak salju kemarin masih terlihat di jalanan. Sebagian sudah mencair oleh sinar matahari pagi ini, membawa kehangatan yang membuat orang-orang lebih bersemangat saat berangkat kerja hari ini. Sebagian salju lainnya masih tersebar di mana-mana, dan sedang dibersihkan oleh para penyapu jalanan yang mengenakan seragam biru-biru. Pengemudi kendaraan yang berlalu lalang kini tak perlu khawatir lagi dengan jalanan licin, meski begitu himbauan untuk berhati-hati tetap ditampilkan pada beberapa billboard yang terpasang di pinggir jalan. 

Semakin tinggi matahari, semakin tipis salju di pinggir jalan. Namun cuaca dingin masih senantiasa menyelimuti, sehingga mengenakan padding atau mantel di luar ruangan menjadi suatu keharusan. Sementara itu dalam ruangan orang-orang mengandalkan pemanas untuk menghangatkan tubuh, jadi tanoa mengenakan pakaian berlapis pun tak masalah. 

Dalam ruangan terbesar di lantai 77 Beijing Trade Center, atau WTC-nya negara China, seseorang yang mengenakan setelan jas abu-abu duduk di depan meja kerja. Tangannya membolak-balik berkas yang diserahkan sekretarisnya tadi pagi. Matanya mengamati dengan seksama tiap detail laporan yang tertera pada lembaran-lembaran itu.

Proyek yang direncanakan ayahnya sungguh luar biasa, meski tidak akan semegah Beijing Trade Center yang terinspirasi dari gedung terkenal di Amerika, juga bernama serupa tapi telah hancur karena dibom puluhan tahun lalu, namun pusat perbelanjaan yang rencananya akan dibangun di Shanghai ini digadang-gadang akan menjadi salah satu yang terbesar. Baru membaca laporan perencanaannya saja Xie Juan sudah takjub. 

Setelah memeriksa lembar terakhir, dia menutup map laporan dan meletakkannya di atas meja, bersama tumpukan berkas-berkas lain yang tersusun rapi. Jam di layar gawainya sudah menunjukkan pukul satu siang, saatnya makan siang.

Terdengar suara ketukan pintu, Xie Juan melirik sekilas dan berkata, "silahkan masuk."

Pintu dibuka, Meng Yunbao masuk sambil mendorong troli. Pria paruh bayah yang dipercaya untuk mengurus makanan dan minuman Xie Juan tersenyum saat mendekat ke meja atasannya.

"Ini menu makan siang Anda,, Tuan," dengan hati-hati Meng Yunbao menggeser tumpukan berkas ke samping, meletakkan piring berisi makan siang, secangkir kopi dan juga makanan pencuci mulut.

"Terima kasih Meng Shu,"  meski Xie Juan tidak tersenyum tapi sorot matanya menyiratkan keakraban. Bahkan dia memanggil petugas pantry ini dengan sebutan paman, menandakan bahwa hubungan atasan dan bawahan itu cukup dekat.

"Karena hari ini dingin, aku meminta koki di restoran lantai lima untuk membuat sup seafood pedas kesukaanmu, juga secangkir kopi dan sedikit makanan penutup,," jelas Meng Yunbao setelah menata makanan di atas meja.

"Hao, terima kasih sekali lagi. Oh iya, tiba-tiba aku ingin sebotol jus buah dingin. Bisa tolong ambilkan?" pinta Xie Juan.

"Cuaca dingin begini Anda tetap mencari jus dingin," meski terdengar seperti keluhan, tapi itu bukanlah keluhan sesungguhnya. Mana mungkin Meng Yunbao berani mengkritik kebisaanya Xie Juan yang menurutnya aneh. Dia tertawa pelan setelah berkata demikian dan langsung membuka kulkas kecil di sudut ruangan, mengambil sebotol jus oren dan membawanya ke depan Xie Juan.

"Ini, Tuan. Silahkan dinikmati," Meng Yunbao berpamitan lalu keluar dari ruangan sambil mendorong troli.

Xie Juan bersiap mengambil sendok untuk menikmati sup seafood, namun saat matanya melihat jus botol di atas meja, tiba-tiba dia terdiam. Beberapa saat lamanya wajah itu tak berpaling dari sebotol jus oren yang sering diminumnya sejak dulu. Melihat minuman ini lagi sekarang, entah mengapa kenangan beberapa tahun lalu muncul lagi dalam kepalanya.

*"*

*"*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
REBLOOM (Zhang Linghe & Bailu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang