Chapter Tiga Puluh Empat

2.6K 328 134
                                    

Tidak akan pernah ada perasaan yang jelas dari sesuatu yang sengaja di sembunyikan, tidak akan pernah ada jawaban dari pertanyaan yang tak pernah di utarakan, tidak akan ada situasi yang benar benar jelas dari ketidak terbukaan dari kedua orang yang terlalu banyak berpikir.

Terlalu lama menerka rasa masing masing padahal sederhana saja.

Ungkapkan apa yang memang harus di ungkapkan, jangan memikirkan hasil akhir, jangan sibuk menerka jangan terlalu larut dalam ketakutan yang belum jelas adanya.

Karena sejatinya, manusia hanya butuh jujur, terlepas itu akan di terima atau tidak, biarkan itu menjadi hasil akhir.

Sebab berdiam diri hanya akan membuat segalanya tak jelas.

Benar benar tidak jelas.

.
.
.
.
.

Keraguan dalam dada yang tak bisa hilang, menghasilkan rasa sakit dari jawaban yang tak pernah di dapat, salah siapa?

Salah sendiri karena terlalu sibuk menereka.

Sekarang, akhirnya kehilangan juga.

Namun, Gracia tak mau egois, sudah saatnya dia terbuka, membuat nama Shani baik di mata sang ayah, karena ini benar tak adil.

Sangat tidak adil.

"Pah" Gracia telah kembali, setelah sedari tadi ia mengurung diri di dalam kamar mandi, lelah menangisi Shani.

"Iyah sayang?" Tuan Harlan diam, menunggu kata yang akan kembali di ucapkan anak semata wayangnya.

"Gracia mau jujur" tidak ada waktu untuk takut, inilah kenyataan yang harus ia katakan pada sang Ayah.

"Iyah sayang?" Sang ayah masih menunggu dengan sabar.

Gracia diam menatap dalam mata sang ayah, sungguh rasa bersalah itu tak juga mau pergi, dia cemas, takut, juga segan.

Namun dia benar tak memiliki pilihan.

.
.
.
.
.
.

Dalam ruangan lain, di rumah sakit yang sama, Shani duduk diam bersama Mahen juga Natasya, menunggu Anin yang masih belum sadarkan diri, dia sudah berhasil di tangani, tak ada luka yang serius, dia hanya mengalami shock yang dalam hingga membutuhkan waktu cukup lama untuk sadarkan diri.

Dan Shani bernafas lega untuk itu, beruntung ia tak terlambat membawa wanita itu.

"Tante ngga bisa ngomong panjang lebar soal kalian, tapi melihat Anin lebih menginginkan mati daripada kehilangan Shani, tante beneran ngga bisa berbuat banyak selain menerima hubungan kalian" pada akhirnya, Natasya akan mengalah pada keadaan, pada hidup sang anak yang ternyata ada di tangan Shani.

Mau bagaimana lagi.

Shani menoleh, melihat pada satu satunya orang tua di tempat ini, sesak sekali mendengar itu, selalu takdir memang tak mengizinkan dia untuk pergi setelah ini.

"Mama harap kamu mengerti Mahen, maafin mama" Natasya sungguh tak tega melihat laki-laki di depannya, laki-laki yang harusnya menjadi anak mantunya, namun kenyataan tak mengizinkan itu.

Mahen tersenyum begitu lembut, ia menggeleng pelan setelahnya "Mahen sayang mama, juga Anin, itu ngga akan berubah, Mahen Gapapa mah" Ucap laki-laki itu, dia telah berdamai dengan keadaan, kenyaan yang tak mengizinkan dia bersama Anin sudah ia terima dengan lapang dada.

Mungkin benar, Anin dan Shani saling mencintai satu sama lain, jadi tidak ada alasan dia menghalangi keduanya.

"Shan" Natasya kembali beralih pada Shani.

_IKATAN DI ATAS KERTAS_Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang