Happy Reading
....Hari minggu yang cerah, pagi yang terasa hangat. Cuacanya pas, tidak terlalu panas tidak pula dingin.
Selesai sholat subuh berjamaah di Masjid, Raden langsung pulang ke rumah. Dan tujuan pertamanya adalah dapur.
"Mas yang masak?" tanya Lea sambil membuka kulkas, mengambil air dingin.
"Jangan minum air dingin, Lea!" larang Raden, dengan suara seraknya.
"Udah seminggu aku nggak minum air dingin, sekali ini aja ya," nego Lea, ya walaupun akhirnya ya dia tetap minum air dingin tanpa mengindahkan larangan suaminya itu.
"Masak apa?" Lea mendekat ke arah Raden.
Nihil tidak ada jawaban, Lea menghela napas.
"Mas bosen ya sarapan nasi goreng mulu?" Lea belum jera, walaupun tadi pertanyaannya tidak dijawab.
"Semalam aku sakit perut." Jawab Raden jujur. Jawaban yang membuat Lea tersedak, hingga ia menyemburkan air yang ada dalam mulutnya.
"Kok Mas nggak cerita? Terus Mas tetap pertahanin kerja dengan kondisi sakit perut?"
"Iya," jawab Raden singkat.
"Maafin aku ya, Mas. Habisnya aku nggak tau harus masak apa lagi. Kasian banget ya kamu Mas, harus berjodoh sama istri yang nggak pandai masak kayak aku ini." Lea menundukkan wajahnya lesu.
"Sarapannya udah jadi, tata gih ke meja makan." Raden mematikan kompor, lalu langsung beranjak pergi menuju meja makan, meninggalkan Lea yang masih tertunduk lesu.
...Raden dan Lea sarapan dengan damai, hanya suara denting sendok dan garpu yang terdengar.
Tiga tahun menjalani biduk rumah tangga, belum berhasil merubah sifat pendiam Raden. Dari awal pernikahan sampai hari ini, Lea masih harus banyak bersabar menghadapi suaminya yang tidak banyak bicara. Lea masih lebih dominan, dan selalu menjadi pihak yang lebih sering memulai pembicaraan.
Raden biasa akan memulai pembicaraan, apabila itu konteksnya penting. Seperti sekarang ini,
"Lea, Ibu sama Ayah nanti siang mau datang ke rumah." Raden menatap istrinya cukup intens.
"Loh, kok Mas baru ngasi tau sekarang. Kebiasaan banget deh. Berarti habis sarapan kita harus masak dan beres-beres, Mas. Duh mana aku belum nyuci lagi, Mas ih, aku jadi mendadak pusing." Lea mengomel, dengan ritme cepat.
Sekilas Raden tersenyum, hanya seperkian detik.
"Masih bisa senyum-senyum ya kamu, Mas." Lea mendelik kesal.
"Siapa suruh beres-beres seminggu sekali." Raden mengendikkan bahunya, tanpa rasa bersalah sedikitpun setelah membuat istrinya kelimpungan.
"Mas, ih." Lea merengek.
"Biar aku aja yang masak, kamu bagian beres-beres aja," putus Raden, kalau tidak sudah dipastikan istrinya akan terus merengek.
"Nah gitu doang, baru suaminya Lea." Lea bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Raden dan lanjut dengan mencium pipi Raden.
"Mas sekalian cuci piring ya, aku mau nyuci dulu. Hwaiting Mas." Lea mengepalkan tangannya, memberikan semangat. Ya walauapun yang diberikan semangat sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun, tetap datar.
...Sesuai informasi Raden tadi pagi, siang ini mertua Lea berkunjung ke rumah. Sedikit informasi, walaupun Lea dan mertuanya sama-sama tinggal di Jakarta, mertua Lea tetap berkunjung ke rumah Raden dan Lea sesekali, begitupun sebaliknya.
Ibu Mertua Lea ini adalah seorang Chef terkenal, oleh karena itulah setiap Ibu mertuanya berkunjung ke rumah selalu menjadi saat-saat yang mendebarkan untuk Lea. Untungnya suaminya Raden, menuruni bakat memasak Ibu mertuanya dengan sempurna. Setidaknya Lea masih bisa mengandalkan Raden untuk menyajikan hidangan yang sempurna.
"Kalian masih lanjutkan programnya?" Sekalinya bersuara, Ibu mertuanya langsung membuat suasana terasa canggung.
"Masih, Bu," jawab Lea dengan suara rendah.
"Kalau Raden udah males mengukuti programnya, bilang sama Ibu."
Ibu mertua Lea ini memang tidak memiliki aura yang begitu bersahaja, tetapi tidak semenyeramkan itu juga. Persis seperti Raden, dingin dan tidak banyak bicara. Sangat berbanding terbalik dengan Ayah mertuanya, yang sangat ramah dan banyak bicara.
"Enggak kok, Bu." Lea tersenyum kikuk.
"Ngomong-ngomong, ini yang masak Raden lagi ya?" tanya Bu Qonita, Ibu mertua Lea.
"Raden lagi pengen masak aja, Bu." Raden langsung memberikan jawaban.
"Baguslah, tugas memasak itu memang bukan cuma tugas istri." Mendengar respon Bu Qonita, Lea menghela nafas lega.
"Iya betul itu Lea, Ayah setuju. apalagi Raden itu suka masak sama kayak Ibu. Jangan disia-siakan bakat suamimu ini ya, Nak," seloroh Pak Adam, mencairkan suasana.
"Tapi kalau kamu perlu resep rendang seperti ini, jangan sungkan-sungkan telfon saja Ibu, ya Lea." Tatapan Bu Qonita melunak.
"Iya, Bu."
Sifat Ibu mertua Lea ini memang cukup susah ditebak. Tiga tahun menjadi menantu di keluarga ini, masih belum cukup untuk Lea bisa memahami Ibu mertuanya. Tetapi yang paling Lea syukuri adalah, sebanyak apapun kekurangan Lea dia tidak pernah merasa disudutkan. Raden dan keluarganya selalu bisa menerima Lea dengan cara mereka sendiri.
Sangat jauh berbeda dengan yang Lea rasakan bersama keluarganya sendiri.
...Lea menyeduh teh untuk dirinya dan suamianya, mereka duduk berdua di teras rumah. Menikmati suasana malam, yang hening.
"Mas, nanti kalau kita udah punya anak. Mas pengen dipanggil apa?" Tiba-tiba pertanyaan itu terbesit di benak Lea.
"Ayah." Singkat padat dan jelas.
"Tapi aku maunya dipanggil Mama." Lea menyenderkan kepalanya di bahu Raden.
"Yaudah nanti aku dipanggil Papa." Lea menegakkan posisi tubuhnya, ia menatap Raden dengan tatapan yang cukup dalam, seperkian detik.
"Semudah itu Mas berubah pikiran? Jadi kalau aku berubah pikiran, ingin dipanggil Ummi. Gimana?" Lea jadi penasaran dengan jawaban Raden.
"Berarti aku dipanggil Abi."
"Mas." Lea kembali menatap suaminya.
"Aku mungkin punya pilihan, tapi kalau pilihan aku justru menjadikan kita berbeda. Aku ngikut kamu aja." Raden membalas tatapan Lea.
"Aku cinta banget sama kamu Mas." Lea lanjut bergelayut manja di lengan kekar suaminya.
Raden tidak membalas ucapan cinta istrinya, ia hanya membalasnya dengan usapan lembut di puncuk kepala Lea.
Dan itu sudah lebih dari cukup untuk Lea.
...
Tbc
Yuk vote dan coment
KAMU SEDANG MEMBACA
Hingga Senja
RomancePermasalahan rumah tangga Azalea dan Raden sejauh ini hanya seputar komunikasi. Kurangnya komunikasi, dan suaminya yang terlalu pendiam. Akankah mereka bisa bertahan hingga akhir? Yuk ikuti kisahnya