Part 11

100 12 11
                                    

Happy Reading
...

Papa Lea, Pak Bram sudah melewati masa kritisnya. Sekarang beliau sudah dipindahkan ke ruang inap.

Sekarang ini hanya Lea yang ada di ruang inap Pak Bram. Semuanya memberikan kesempatan kepada Lea untuk mengobrol berdua bersama Papanya.

"Pa," ucap Lea lirih.

"Ada yang sakit lagi?" tanya Lea.

Pak Bram menggelang, "Papa sudah sehat," jawab Pak Bram.

"Pa, apapun alasannya Papa nggak seharusnya menyembunyikan penyakit Papa dari, Lea. Lea ini putri Papa, Lea berhak tau, Pa." Lea mengungkapkan isi hatinya secara terang-terangan.

"Ini hanya penyakit orangtua, Lea. Tidak usah berlebihan."

"Pa." Suara Lea meninggi. Syukurnya Lea langsung sadar, tidak seharunya ia membentak Papanya yang baru saja melewati masa kritisnya, "Pa, jangan begini." Suara Lea kembali ia rendahkan.

"Maafin Lea, Pa. Maafin semua sikap buruk Lea selama ini," ucap Lea dengan sungguh-sungguh.

"Papa nggak boleh lagi terus dibayang-bayangi rasa bersalah. Lea sekarang udah bahagia Pa, Papa harus melanjutkan hidup dengan bahagia juga." Setelah mengatakan itu, bulir-bulir air mata membasahi pipi Lea.

"Jangan menangis," ucap Pak Bram.

"Kamu tidak boleh menangis karena Papa, Papa tidak pantas menerimanya, Lea." Pak Bram memejamkan matanya, seperkian detik.

"Pa, ayo kita lupakan yang sudah-sudah. Papa harus sehat, harus kembali bahagia. Jangan jadi lemah begini, Pa." Lea mengusap air matanya.

"Kamu tidak perlu memikirkan Papa. Keluarlah, Papa mau istirahat."

Lea tidak memberikan jawaban apa-apa, ia hanya melihat wajah Papanya cukup lama. Sebelum akhirnya ia keluar dari ruangan itu.

Di luar ruangan, Raden masih menunggu Lea. Begitu Lea keluar dari ruangan, Raden langsung merangkul Lea.

"Gimana kondisi Papa?" tanya Raden.

"Aku mau duduk, Mas."

Raden dengan sigap langsung menuntun Lea untuk duduk di bangku panjang yang terletak di depan ruangan.

"Mas, aku boleh minta dipeluk?" pinta Lea.

Raden langsung membawa Lea kedalam pelukannya, Raden tidak menanyakan apapun. Karena Raden tahu betul dalam kondisi seperti ini, Lea hanya butuh sandaran. Nanti kalau sudah lebih tenang, Lea pasti akan bercerita.

Lea menangis dalam pelukan Raden, tanpa suara. Sementara itu, Raden menepuk-nepuk punggung Lea, untuk menenangkan.

Sekitar 10 menit berlalu, barulah Lea melepaskan pelukannya dari Raden.

"Udah lebih tenang?" tanya Raden sambil menangkup wajah Lea, Raden menghapus sisa-sisa air mata Lea yang menempel di wajahnya dengan telaten.

Lea menganggukan kepalanya, "Apa sesakit itu menjadi, Papa?" tanya Lea dengan suara rendah.

"Terkadang pemikiran laki-laki dengan perempuan itu sedikit berbeda, Lea. Barangkali Papa bukannya tidak mau membagi rasa sakitnya dengan kamu, Lea. Papa hanya tidak ingin membebani kamu."

"Apa selama ini aku terlalu jahat ya Mas sama Papa?"

"Lea, nanti kalau Papa sudah lebih mendingan sampaikan apa yang ingin kamu sampaikan sama Papa. Kamu dan Papa itu hanya butuh berbicara dari hati ke hati."

"Iya, Mas. Tadi waktu menunggu Papa melewati masa kritisnya, aku benar-benar sangat takut. Aku sangat takut kehilangan Papa, sebelum sempat meminta maaf Mas."

Hingga SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang