Part 7

111 15 9
                                    

Happy Reading
...

Raden sudah pulang dari Medan. Kondisi Lea juga sudah membaik, jadi Raden dan Lea kembali ke rumah mereka. Lea sejujurnya tidak terlalu betah berlama-lama di rumah orangtuanya. Bukan karena Ibunya kejam, hanya saja bagi Lea suasana rumahnya terlalu ramai, adik-adiknya hoby sekali membuat keributan barangkali karena masih di usia remaja.

Lea hari ini masih libur bekerja untuk memulihkan kondisi tubuhnya, mau tidak mau Raden juga izin tidak masuk kerja. Lea tidak melepaskannya sejak sampai dirumah. Raden ketempelan Lea.

"Lea, nggak capek gelendotan gini terus?" tanya Raden. Lea menggelengkan kepalanya.

"Geseran dikit yuk, Mas nggak akan kemana-mana," sambung Raden lagi.

"Nggak mau, Mas."

"Yaudah deh, tapi nanti kalau Mas masak kamu tiduran aja di kamar ya?"

"Iya Mas. Mas nggak kangen ya sama aku? Kayaknya risih banget aku tempelin gini."

"Bukannya gitu. Tapi ini udah lebih dari sejam posisi kita begini terus, Lea."

"Ya namanya juga Lea kangen berat sama Mas," ucap Lea menggebu-gebu.

"Oh iya Mas, Mas beneran nggak beli oleh-oleh?" Pertanyaan ini sudah tiga kali keluar dari mulut Lea, sejak kepulangan Raden.

"Nggak, Lea. Mas mana sempat lagi nyari oleh-oleh. Mas itu khawatir banget, pas denger kabar kamu lagi sakit."

"Ya kan tapi setidaknya bawa bolu meranti Mas, Mas tau sendiri kan aku suka banget."

"Yaudah nanti kita jastip aja."

"Mahal banget nanti jadinya, Mas. Kalau Mas beli langsung kan lumayan lebih hemat."

"Ya mau gimana lagi, Lea. Mas udah nyampe Jakarta ini."

"Yaudahlah nanti jastip aja." Lea akhirnya menyerah dengan perdebatan mereka.
....

Menunggu Raden memasak Lea tiduran di kamar. Lea memutuskan untuk menonton film dari handphone-nya untuk mengurangi kebosanan.

Ting

Handphone Raden yang diletakkan di atas meja berbunyi, Lea melirik sekilas.

"Mama? Ngapain Mama chat Mas Raden?" Lea langsung menegakkan posisi duduknya.

Lea meraih handphone suaminya itu, Lea tentu hafal sandi handphone Raden. Ia langsung membuka Handphone Raden.

"Terimakasih ya Nak, untuk transferannya. Terimakasih sudah mau meringkankan beban, Mama." Begitulah kira-kira isi chat yang dikirim oleh Mama kandung Lea.

Air wajah Lea langsung berubah, tangan Lea mengepal dengan sendirinya. Belum puas membaca isi chat terbaru yang dikirim Mamanya ke nomor Raden, Lea lanjut membaca chat sebelum-sebelumnya. Lea membulatkan matanya, ketika melihat beberapa bukti transfer yang dikirim Raden ke nomor Mamanya.

Lea tidak tahu menau soal ini. Raden tidak pernah sekalipun bercerita soal chat Mamanya yang meminta pinjaman, atapun bantuan finansial. Lea benar-benar terlihat sangat kesal, Lea merasa malu kenapa bisa-bisanya Mamanya meminta-minta bantuan kepada suaminya. Dan Lea lebih kesal lagi saat membaca chat dari Mamanya yang meminta Raden merahasiakan ini dari dirinya.

Pintu kamar terbuka, Raden muncul dengan wajah sumringah. Sepertinya ia telah selesai memasak.

"Lea, ayo makan." Itulah hal pertama yang diucapkan Raden setelah masuk ke dalam kamar.

"Apa ini maksudnya, Mas?" Lea mengeluarkan handphone Raden yang ia sembunyikan di belakang badannya.

Raden mengernyitkan dahinya, tanda tidak mengerti. "Maksudnya, Lea?" tanya Raden.

"Sejak kapan kamu diporotin sama Mama? Sejak kapan, Mas!" Lea meninggikan suaranya.

Raden terkejut, dia tidak menyangka kalau Lea mengetahui itu. Ini tentu akan jadi permasalahan yang besar, mengingat Lea belum begitu bisa menerima kehadiran Mamanya. Walaupun Lea sudah memaafkan kesalahan Mamanya di masa lalu, tetapi Lea tetap menjaga jarak. Karana bagaimanapun luka yang ia dapatkan sedari kecil dari Mamanya tidak bisa semudah itu hilang dari ingatan dan dirinya.

"Aku bisa jelasin semua ini, Lea." Raden mendekati Lea.

"Bisa-bisanya kamu menyembunyikan hal sepenting ini dari aku, Mas. Dia itu Mamaku, Mas nggak seharusnya melangkah sejauh ini tanpa izin dari aku!"

"Lea, kalau aku cerita sama kamu. Aku yakin kamu nggak akan memberikan izin. Sementara Mama kelihatannya sangat membutuhkan itu." Raden memberikan jawaban setenang mungkin.

"Tau apa kamu tentang Mama aku, Mas! Tanpa sadar kamu udah jadi bulan-bulannya Mama, Mas! Dan kamu nggak menyadari itu!"

"Aku benar-benar kecewa sama kamu, Mas!" Tatapan Lea benar-benar terlihat tidak bersahabat kali ini.

"Sudah seberapa banyak yang kamu berikan, Mas?"

Raden tampak gugup, dengan menyebutkan nominalnya bisa jadi akan membuat suasana semakin panas.

"Kenapa diam aja Mas! Apa sudah sebanyak itu?"

"Kalau ditotal mungkin mencapai 20 juta, Lea."

"20 juta, Mas?" Suara Lea sudah melemah, ia benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya itu.

"Mas kamu tau nggak sih! Suami Mama yang sekarang itu problematik, dia masih suka berjudi. Kamu pikir sumbangan yang kamu berikan itu akan mereka pergunakan di jalan yang benar? Kamu selah besar, Mas!" Lea meninju kasur yang ia duduki dengan sekuat tenaga, menyalurkan emosinya yang meledak-ledak.

"Lea, maafin Mas ya." Raden tidak tahu harus bersikap bagaimana, selain terus meminta maaf. Di lain sisi Raden sebenarnya tidak tau cara menolak permintaan mertuanya, walaupun Raden tau resikonya kalau sampai Lea tau pastilah sangat fatal. Di sisi lain Raden juga sebenarnya paham betul dengan kondisi Lea, yang belum bisa berdamai sepenuhnya dengan sosok Mama yang meninggalkannya sedari kecil.

"Keluar, Mas! Aku perlu menenangkan diri."

"Lea, jangan begini. Kamu baru sembuh, kita makan dulu ya," bujuk Raden.

"Aku nggak mau makan, Mas. Aku cuma mau sendiri. Mas boleh keluar. Dan malam ini juga, aku mau tidur sendiri."

Raden mengusap wajahnya, frustasi. Siapa sangka semuanya terjadi begitu cepat, padahal tadi Lea masih menempelinya kemanapun. Sekarang Lea bahkan mengusirnya dan malam ini Lea tidak mau tidur di kamar yang sama dengan dirinya.

"Yaudah, kalau misalnya kamu laper jangan ditahan-tahan ya. Nanti lauknya tinggal dipanasin aja. Ingat ya, kamu baru sembuh, Lea.

"Sekali lagi Mas minta maaf," sambung Raden.

Mau tidak mau Raden menuruti keinginan istrinya untuk pisah kamar malam ini, kalau Raden memaksakan kehendak pun tidak akan menghasilkan apa-apa, yang ada Lea akan semakin kesal.

Raden memilih untuk tidur di sofa yang terletak di ruang tengah, supaya posisinya tidak jauh dari kamar mereka. Sebenarnya bisa saja Raden tidur di kamar tamu, tetapi posisinya terlalu jauh dari kamar yang ditempati Lea.

Sementara itu di kamar, Lea terjaga sampai larut malam. Lea memikirkan banyak hal, ingatan-ingatan buruk yang ia terima saat kehancuran rumah tangga orangtunya bermain-main di benaknya.

Lea mungkin tidak terlalu menunjukkan kerapuhannya selama ini, tetapi bukan berarti Lea dengan mudah bisa berdamai dengan semua luka-lukanya. Lea sudah mengalami banyak hal berat dan menyakitkan sedari kecil, luka-luka itu masih terus berbekas di diri Lea hingga ia dewasa.

Benar, Lea sudah memaafkan Mamanya. Tetapi Lea belum bisa kembali dekat dengan Mamanya, Lea tetap membuat jarak. Bukannya Lea durhaka, hanya saja Lea tidak mau terlalu masuk lagi ke dalam kehidupan Mamanya, Lea takut kalau akan kecewa kedua kalinya. Biarlah ia dan Mamanya sama-sama menjalani kehidupan mereka masing-masing seperti biasanya.
.....

Tbc

Hingga SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang