5

411 14 1
                                    

"Makanan sudah siap" Liera datang dengan semangkuk besar penuh nasi goreng untuk mereka bertiga.

Agam terlihat sangat bahagia dan tidak sabar untuk menyantap masakan buatan Liera.

"Bibi Li, aku sudah sangat merindukan masakan buatanmu" ucap Agam bersemangat.

" Padahal masakan buatan Mami jauh lebih enak" cibir Cecilia namun di abaikan oleh Liera dan Agam.

"Mari makan, tapi kenapa Agam memanggil Bibi?" tanya Liera yang baru tersadar dengan panggilan yang Agam ucapkan untuknya.

"Mami bilang, Bibi itu sebutan untuk bibi Li" ucap Agam polos.

Liera menatap tajam Cecilia yang malah cengengesan dan mulai menyantap makanannya tanpa menghiraukan tatapan tajam Liera.

"Jangan dengerin Mami kamu, sekarang panggilnya seperti biasa ya" ucap Liera tak mau di bantah.

"Em, baik Buna" ucap Agam tersenyum cerah.

Liera tersenyum lembut sembari mengelus rambut tebal Agam. Liera sangat menyayangi Agam seperti anaknya sendiri dan sejak kehadiran Agam, rasanya Liera juga menginginkan seorang anak makannya dia menginginkan Agam memanggilnya Buna atau Bunda.

"Kau sudah menikah dan akan memiliki anakmu sendiri, Lie. Jadi jangan memonopoli putraku" ucap Cecilia terlihat tak mengizinkan namun Liera melihat maksud lain dari sahabatnya itu.

Liera menatap tajam Cecilia yang kini menghindari tatapannya, entah ada apa dengan sahabatnya ini rasanya sesuatu telah terjadi atau mengganggu pikiran sahabatnya ini.

Liera ingin bertanya namun dia menunggu waktu hingga Agam selesai makan dan pergi bermain, kesempatan ini di manfaatkan Liera untuk menanyakan hal ini pada Cecilia.

"Ada apa denganmu, Ce, kenapa Agam harus memanggilku Bibi? Selama ini dia memanggilku Buna kan? Kamu tidak masalah kan kalau aku jadi bunda kedua untuk Agam?" tanya Liera bertubi tubi. Sebenarnya apapun boleh saja untuk menjadi alasan tapi Liera hanya butuh penjelasan.

"Tidak ada," jawaban singkat Cecilia membuat Liera tidak puas.

"Aku sudah menyayangi Agam, kamu tau kan Ci. Aku, aku rasanya sedih kalau panggilan Buna itu hilang dari Agam" Liera berkaca-kaca, sungguh dia ingin putra sahabatnya ini tetap memanggilnya Buna, seperti biasanya.

Cecilia menunduk, memilin ujung roknya pertanda dia menahan kesedihan, Liera sudah  paham gerak gerik sahabatnya ini jadi dia mendekat, memegang bahu Cecilia lembut guna memberitahu dirinya jika Liera butuh Cecilia untuk bicara.

"Lie, kau sudah menikah dan tentu akan memiliki anak di kemudian hari," Cecilia menghela nafas pelan menatap Liera dengan tatapan sendu.

"Aku takut karena Agam sangat menyayangimu seperti dia menyayangiku" lirih Cecilia membuat Liera menatap tak paham sahabatnya itu.

"Kamu cemburu jika Agam menyayangiku?"

"Tidak. Aku senang karena setidaknya Agam mendapatkan kasih sayang dari orang lain selain dari aku, tapi aku takut nanti kamu melupakan putraku, Lie. Aku takut Agam merasa tidak di sayang lagi, aku takut Agam merasa tidak di inginkan lagi. Cukup ayahnya yang tidak menginginkan Agam, cukup kali itu saja aku dan Agam menderita Lie. Aku tak ingin Agam kembali tersakiti dan itu dari kamu" Cecilia menangi dan Liera segera memeluk Cecilia erat.

Tak ada yang salah ketika seorang ibu mencemaskan anaknya, memikirkan perasaan anaknya di kemudian hari. Dan Liera sadar jika Cecilia, sahabatnya ini belum sepenuhnya sembuh dari rasa sakit.

Cecilia, dia masih terbayang akan rasa sakit yang pernah dia miliki. Cecilia wanita kuat yang Liera kenal dan wanita kuat ini terluka karena satu lelaki yang tidak Liera tau sampai saat ini.

Liera melerai pelukan keduanya, memisahkan jarak antara dirinya dan Cecilia. "Ce, ingat saat kamu hamil Agam, saat Agam lahir dan saat Agam tumbuh menjadi putramu yang sangat menggemaskan. Dan ingat Ce, dari awal kehadiran putramu, dia memang milikmu, dan aku sudah mengatakan akan jadi ibu angkat Agam. Ce, aku akan menyayangi Agam meski aku memiliki anakku sendiri" ucap Liera sungguh-sungguh.

Cecilia menangis kembali, Liera menenangkannya dengan lembut. Sebenarnya Cecilia terlalu cemas dengan hal yang sebenarnya tidak perlu di cemaskan.

"Ce, ke psikolog ya, aku rasa kecemasan kamu terlaku berlebihan" Liera sebisa mungkin berbicara secara perlahan, namun Cecilia langsung menjauhi Liera menatap tak suka pada Lier.

"Aku gak gila. Aku gak butuh psikolog!" Cecilia menatap Liera tidak suka. Sejak dulu setiap kali Liera menyinggung kata psikolog Cecilia pasti seperti ini tapi Liera tidak akan menyerah, dia sadar jika kondisi sahabatnya sudah sangat tidak biasa.

"Bukan seperti itu, Ce. Tapi, apa salahnya mencoba berkonsultasi?"

"Tetap aja, kamu ternyata sama kaya lelaki itu Li, kamu sama kaya mereka yang mengatai aku gila.  Tanpa sadar kamu juga sama mengatai aku gila. Lebih baik kamu pergi, pergi dan jangan datang sebelum aku menghubungi kamu, Liera" Cecilia berteriak marah mengusir Liera.

Wanita itu terkesiap, sungguh dia sadar jika semakin kesini kondisi Cecilia sangat memburuk.

"Aku pulang, Ci. Kamu pikirkan lagi ya,  dan tolong jangan sakiti Agam atau diri kamu sendiri lagi" ucap Liera sebelum akhirnya dia pergi dari rumah kontrakan milik Cecilia.

Wanita itu pergi dengan hati yang tidak tenang, samar sama dia mendengar suara bising namun tak berniat untuk berbalik pergi.

Selalu seperti ini jika Cecilia kembali mengingat lelaki yang tidak Liera ketahui itu, hal ini semakin membuat Liera ingin membawa sahabatnya kepada yang berpengalaman.

Dia sungguh semakin penasaran siapa sebenarnya lelaki yang sudah membuat sahabatnya seperti ini, lelaki yang tak lain adalah ayah dari Agam. Sungguh, Liera ingin tau namun Cecilia selalu bungkam dan tak mau membahas soal lelaki itu.

Apakah Liera harus meminta bantuan dari Reynand? Suaminya itu jelas memiliki kuasa namun apakah lelaki itu akan membantu Liera?

Liera mengenyahkan pikirannya, lebih baik dia berusaha membujuk Cecilia untuk menemui psikolog saja lalu menunggu dia sendiri yang menceritakan pada Liera.

Sebelum pergi, dia menemui Agam yang sedang bermain, anak kecil memang sangat periang bahkan baru pulang bepergian saja mereka masih kuat bermain.

"Agam, Buna pulang dulu ya" seru Liera.

Agam menatap Liera bingung dan cemberut, dia memeluk kaki Liera erat seakan tidak mau jika wanita itu pergi sekarang ini.

"Kenapa gak nginep?"

" Rumah bunda kan jauh, jadi harus pulang sekarang. Agam yang baik ya, jangan buat Mami sedih dan marah"

Agam mengangguk walau terlihat masih sangat lesu karena Liera tidak menginap dengannya.

"Oh iya, Mami lagi cape kayanya, jadi Agam jangan pulang dulu ya, Agam juga jangan buat  Mami sedih ya takutnya nanti," Lier tidak melanjutkan kata-katanya lagi tapi dia fokus melihat bekas cubitan di tangan Agam dan lebam bekas pukulan.

Rasanya pasti sangat menyakitkan, Liera tak bisa membayangkan hal ini tapi Liera tau jika Cecilia selalu dalam keadaan tidak sadar jika dia sudah menyakiti dirinya sendiri ataupun Agam.

Bukan hal yang harus di maklumi, tapi mau bagaimana lagi. Liera tidak bisa menghakimi karena dia juga tidak tau siapa lelaki yang sudah membuat sahabatnya itu sampai nyaris gila seperti ini.

Ya, Cecilia seperti nyaris gila, tapi dia masih bertahan untuk melanjutkan hidup dan kuliahnya. Dia memang wanita yang kuat dan ibu yang hebat, Cecilia sangat menyayangi Agam tapi jika kembali seperti ini, entahlah dia tak bisa berkata apapun selain berusaha membujuk sahabatnya agar mau bertemu dengan psikolog.

"Buna pulang ya, Agam harus jaga Mami ya, ingat ya sayang" Liera mengecup pipi Agam lalu pergi dari tempat itu.

Agam itu anak yang pintar, dia tau kondisi ibunya tapi dia berusaha untuk memahaminya. Sungguh Liera sangat salut dengan cinta ibu dan anak. Tidak ada yang bisa di salahkan jika Cecilia berlaku kasar, karena sesungguhnya wanita itu sangat menyayangi Agam; putranya.

Sebenarnya hanya dia yang tau kondisi Cecilia dan Agam yang seperti ini, di kampus Cecilia seperti tak memiliki trauma apapun, di lingkungan masyarakat, tidak ada yang mempedulikan Cecilia dan Agam, jadi mereka memang tidak ada yang tau kondisi ini.

You Are Mine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang