“Satu bulan adalah waktu yang cukup untuk kalian mempersiapkan pernikahan.”
Danuar tak henti-hentinya melepaskan senyum di bibir tatkala kedua gendang telinganya mendengar sang Ayah berkata demikian.
Pria itu sudah membulatkan tekadnya bahwa hanya akan ada cinta yang akan ia pampangkan di hadapan Raya.
Cinta yang sebenarnya. Cinta yang dapat membuat Raya bertekuk lutut dan memuja padanya.
Sudah Danuar katakan, kesuksesan selalu berada dalam genggamannya, sebagaimana sebuah tangan kecil yang kini tengah ia genggam dengan begitu kuat dan hangat.
Sukses. Danuar sukses membuat Raya perlahan-lahan berada dalam genggaman meski gadis itu masih sedikit terlihat linglung tak percaya.
Namun bukankah salah satu tugas Danuar saat ini adalah memupuk kepercayaan pada gadis itu? Memberikan sebaik-baiknya rasa cinta dan kasih sayang agar Raya dapat membuka matanya dengan sedikit lebih lebar.
“Dari wajahmu, dapat aku perkirakan bahwa, bahkan setelah kita meninggalkan rumah Ayah’ debaran di hati kamu tak kunjung mereda?” Danuar bertanya kepada gadis yang tangannya masih ia genggam.
Tinggi Raya hanya sebatas dada Danuar saja, itu sebabnya, mengapa ketika mereka tengah berbicara harus saja Raya yang mengangkat wajahnya. Akan tetapi, saat ini yang Danuar lakukan adalah hal yang seharusnya tak pria itu lakukan.
Danuar merendahkan tubuhnya seperti ini dan memfokuskan kedua bola matanya pada wajah Raya hanya akan membuat wajah Raya merona.
Dalam debarannya, setidaknya Raya masih memiliki waras sampai ia tak harus melupakan bahwa ada jawaban yang harus ia berikan kepada pria itu.
“Bohong jika aku berkata bahwa hatiku tidak lagi berdebar, Danu. Kamu tahu? Hal seperti ini tidak pernah ada, dan terlintas dalam kepalaku.”
Danuar tersenyum. Sangat manis. “hal seperti ini? Boleh kamu jelaskan apa maksudnya? Agar aku dapat mengerti isi hatimu.”
Raya masih sempat-sempatnya menatap kedua bola mata Danuar sebelum akhirnya membuang napas. Ketimbang menjawab apa inginnya Danuar, Raya lebih memilih untuk melanjutkan perjalanannya. Setidaknya sampai pada bangku kayu yang berada di bawah pohon sana.
Danuar melangkah seirama dengan langkah jenjang gadis itu. Mengikuti kemana tubuhnya akan di bawa. Dan, ia dapat melihat satu gurat rasa takut di wajah ayu milik Raya.
“Danu, boleh aku jujur padamu?”
“Jujurlah, aku akan mendengarkannya.” Danuar saat ini sangat-sangat terlihat seperti seorang pasangan idaman. Senyuman yang menghiasi wajah Danuar memperlihatkan kilatan cinta pada kedua matanya.
Raya menarik napas, ia tatap wajah Danuar dengan kesungguhan. “aku pernah menyukai kamu, jujur saja. Mungkin sudah pada tahap dimana aku mencintai kamu.”
Raut wajah terkejut tak bisa Danuar sembunyikan, pria itu benar-benar merasa terkesima saat Raya mengakui perasaannya, tetapi, kenapa ada kata ‘pernah’ yang harus Raya selipkan dalam kalimatnya?
Bukankah hal itu malah membuat Danuar memiliki rasa penasaran yang kuat? Danuar menggeser tubuhnya, bermaksud akan bertanya.
Tetapi, suara Raya selanjutnya kembali menghentikan Danuar. “itu dulu, Danu. Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menghilangkan perasaan itu. Aku berhasil meski harus melewati berbagai macam perasaan yang memenuhi hatiku. Kamu tahu, hal apa yang membuat aku akhirnya memilih untuk tidak mencintai kamu lagi?”
Danuar menatap Raya dengan sangat intens.
“apa?” Danuar sejatinya tak sabar ingin mendengar jawaban dari gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK ROSE || Namjoon
Fiksi PenggemarDanuar dan Raya bertemu dalam sebuah acara yang di adakan di Yogyakarta. Hingga pada akhirnya, mereka cukup dekat hanya sebagai teman. Sifat keduanya cukup berbanding terbalik. Hidup Danuar terlampau penuh kilau, sedangkan Raya tak menyukai sesuatu...